The Floating Castle

The Floating Castle adalah bahasa Inggrisnya sebuah film Jepang yang berjudul Nobou no Shiro. Sebuah film berlatar belakang sejarah Jepang di tahun 1590, waktu Toyotomi Hideyoshi  sebagai daimyo (tuan tanah) berusaha menyatukan Jepang. Jaman itu memang jaman yang penuh peperangan yang disebut dengan Sengoku Jidai 戦国時代 . Nah, pasukan Toyotomi Hideyoshi ini mendapat perlawanan keras dari sebuah castle yang dikelilingi danau yang bernama Oshijou 忍城.

poster film Nobou no Shiro

Pemimpin  Oshi Castle ini adalah Narita Nagachika yang masih muda dan nyentrik, dan harus menggantikan ayahnya yang meninggal menjadi pemimpin daerah itu. Bagaimana tidak nyentrik atau bahkan gila dilihat dari sebutan yang diberikan “Nobou” (singkatan dari Dekunobou) padanya, yaitu dengan kekuatan pasukan 500 orang dia bersikeras untuk MELAWAN pasukan Toyotomi Hideyoshi sejumlah 20.000 orang!

Pada saat pasukan Toyotomi (di bawah pimpinan Ishida Mitsunari) terdesak pada serangan pertama, mereka kemudian membuat Ishida Tsutsumi (Dam Ishida) yaitu sebuah dam untuk membendung aliran sungai dan memaksa Narita a.k.a Nobou  ini untuk menyerah. Semua daerah yang rendah tertutup air, dan warga petani berlari mencari perlindungan ke kediaman Nobou. Tempat istana yang tidak sembarangan bisa diinjak kaum biasa itu apalagi waktu itu warga yang mengungsi berlumpur kakinya. Satu yang menarik sekali bagiku adalah Nobou sendiri TURUN menginjak lumpur dan menjadikannya sama dengan warga yang mencari perlindungan itu. Dia dan permaisurinya dengan kaki kotor mengajak semua warga yang ada untuk masuk ke kastil untuk berlindung.

Narita Nagachika diperankan oleh pemain Kyogen (kesenian tradisional Jepang) yang juga aktor: Nomura Mansai. Seniman yang hebat!

Mengetahui bahwa dia tidak akan bisa menang dengan keadaan terendam air, maka  Nobou pergi dengan perahu ke arah Ishida Tsutsumi di depan Maruhakayama Kofun (bukit makam yang menjadi pusat pasukan Toyotomi) untuk membuat pertunjukan tarian di depan musuh! Layaknya bunuh diri 😦 Tarian Dengaku yang ditarikan merupakan tarian petani waktu berdoa pada dewa supaya panen berhasil. Nobou memang terkenal sebagai eksentrik yang suka bermain ke pertanian wilayahnya dengan maksud untuk membantu, tapi biasanya hanya akan mengganggu pekerjaan petani. Waktu dia sedang menari itulah, dia ditembak oleh pihak musuh.

Melihat pemimpinnya jatuh ke dalam air, beberapa petani yang menyusup ke dalam pasukan musuh membongkar tanggul sehingga air yang mengelilingi Shijo Castle itu surut. Pengaruh Nobou pada petani memang besar.

Setelah air surut, Nobou bersiap untuk berperang lagi. Demikian juga pihak musuh. Tetapi sebelum terjadi pertempuran, ada pemberitahuan bahwa Odawara Castle sudah kalah, sehingga peperangan tidak perlu dilakukan lagi. Odawara Castle lebih tinggi kedudukannya dari Oshi Castle. Pertempuran selesai dengan kondisi seri, namun tentu Nobou tidak bisa tinggal lagi di castle itu. Oshi castle adalah satu-satunya castle dalam perang Sengoku Jidai yang tidak “kalah”.

Dan yang mengesankan pada pertemuan dengan pihak musuh setelah perang usai, Nobou mengajukan dua syarat yaitu minta supaya sawah yang hancur oleh perang (ditimbun tanah waktu membendung tanggul) untuk dibersihkan. Katanya, “Jika tidak dibersihkan petani tak bisa bertanam lagi”. Dan yang ke dua, waktu pertempuran ada beberapa petani yang dibunuh oleh prajurit musuh. Petani bukanlah samurai, jadi tidak boleh dibunuh. Itu sudah merupakan etika perang. Jadi Nobou minta supaya prajurit yang membunuh petani untuk dihukum (dibunuh). Di sini dapat dilihat betapa Nobou berpihak pada petani.

Setelah itu memang tidak diketahui Nobou pergi dan tinggal di mana. Ada seorang panglima perangnya yang kemudian menjadi pendeta Buddha untuk mendoakan mereka yang sudah mati dalam peperangan. Oshi Castle bubar, dan terakhir menjadi milik keluarga Abe, salah seorang menteri berpengaruh di pemerintahan Tokugawa (abad 18).

Trailer film ini bisa dilihat di : http://youtu.be/9I__lzfCpHU

Film yang cukup bagus menurutku. Aku sendiri baru menonton persis sehari sebelum kami pergi ke Oshi Castle tanggal 19 Mei yang lalu.  Riku dan Kai diajak papanya menonton waktu film ini dirilis tahun lalu. Sebetulnya film ini akan dirilis bulan September 2011, tapi untuk menghormati Gempa Tohoku (Maret 2011) rilis film ini ditunda. Pertimbangannya karena ada adengan luapan air bagaikan tsunami yang menutupi daerah rendah sekitar castle, yang mungkin akan berpengaruh pada perasaan korban gempa dan keluarga yang ditimpa musibah. Rasanya tidak etis… Keputusan ini juga aku kagumi. Toleransi orang Jepang yang sangat tinggi! Selain itu di cover DVD yang kami pinjam juga tertulis peringatan bahwa akan ada adegan seperti tsunami.

Oshi Castle

Oshi Castle ini sendiri terletak di Gyoda Saitama, cukup dekat dengan rumah kami hanya dengan 1 jam bermobil. Kami pergi ke sana dan menemukan bangunan castle tetapi bukan peninggalan jaman Nobou tentunya. Castle ini masih baru dan berfungsi sebagai museum sejarah daerah setempat. Kami sampai di castle sekitar pukul 2 siang karena kami harus ke gereja dulu paginya. Kami lalu membeli karcis masuk seharga 200 yen untuk dewasa dan 50 yen untuk anak-anak. Untung sekali waktu itu Staf memberitahukan bahwa ada kesempatan untuk memakai baju perang yoroi sebagai sebuah acara tambahan museum. Gratis asal membayar tanda masuk castle yang 200 yen itu! Murah sekaliiiii….. Begitu mendengar bahwa bisa memakai yoroi, anak-anak sangat gembira sampai stafnya berkata, “Wah senang sekali melihat anak-anak ini begitu antusias”.

Oshi Castle

Kami langsung menuju aula tempat mencoba memakai pakaian perang itu dan mendaftar. Cukup lama harus menunggu giliran. Akhirnya Kai dipakaikan baju perang dari Takeda Shingen (yang kami kunjungi dua minggu sebelumnya). Yoroi itu ternyata terpisah-pisah. Pertama pakai pelindung kaki, lalu pelindung tangan baru semacam rok dan pelindung dada. Roknya terdiri dari lempengan besi dan keseluruhan berat pakaian ini sekitar 20 kg untuk orang dewasa (rata-rata sepertiga dari berat badannya). Bisa lihat beratnya baju perang ini dalam video Kai berputar memakai yoroi.


Riku memakai yoroi ukuran dewasa yaitu yoroi dari keluarga Abe, si penguasa Oshi Castle pada jaman Tokugawa. Memang setiap yoroi berbeda desain menurut keluarganya, sehingga bisa terlihat waktu perang, prajurit itu prajurit siapa. Dan staf yang memakaikan baju perang ini pada Riku amat baik dan menawarkan mengambil foto kami sekeluarga. Mungkin karena aku orang asing ya 😀

proses pemakaian baju perang

Setelah mencoba berpakaian yoroi, kami pun melihat benda-benda bersejarah dari Oshi castle ini yang dipamerkan di tiga lantai. Seperti kebanyakan museum, kami tidak boleh memotret dalam museum. Tapi memang tidak ada yang menarik sih. Mungkin yang menarik di situ adalah bahwa kota Gyouda ini terkenal juga sebagai pembuat kaus kaki untuk kimono. Dan di salah satu corner ada foto alas kaki pesumo terkenal dan kita bisa membandingkan kaki kita dengan pesumo itu. Wah memang kakinya pesumo itu besar ya 😀 Habis kaki itu harus menanggung berat badan yang tidak tanggung-tanggung sih.

Ishida Tsutsumi

Setelah melihat museum, kami pindah tempat menuju ke Ishida Tsutsumi, dam buatan waktu pasukan Toyotomi merendam Oshi Castle dengan air sungai. Di dekatnya terdapat Maruhakayama Kofun (makam) yang menjadi pusat pasukan Toyotomi. Makam ini berbentuknya seperti gundukan tanah yang tinggi, tapi karena waktu itu aku capek sekali, aku tidak ikut naik ke atas. Lagipula sudah mulai hujan rintik-rintik, aku takut kalau terpaksa harus bergegas turun, padahal aku takut ketinggian (sehingga pasti butuh waktu lama untuk menuruni bukit).

Maruhakayama Kofun

Sebetulnya di sekitar tempat itu juga ada museum dokumentasi lainnya, tapi karena sudah pukul 4:30 sudah tutup. Kami juga tidak sempat (lebih ke tidak berminat sih) mencoba makanan khas daerag Gyouda yaitu Gorengan dan Jelly Goreng … yieks.

Senang sekali perjalanan waktu itu, bisa mengunjungi castle yang menjadi tempat bersejarah. Sayangnya castle ini tidak termasuk dalam 100 castle terkenal di Jepang. DeMiyashita sedang berusaha mengunjungi dan mengumpulkan stamp dari castle-castle yang termasuk dalam 100 castle terkenal di Jepang 100名城. Ntah kapan bisa terlengkapi, tapi senang jika mengetahui bahwa kami mempunyai suatu target bersama, target keluarga dalam hidup kami.

Riku ber-yoroi

Thermae Romae

Mayday Mayday… Awal bulan Mei 2012 di Tokyo digelayuti awan mendung sejak pagi, dan siang hari sudah mulai turun hujan. Padahal prakiraan cuaca mengatakan hujannya mulai munculnya Rabu 2 Mei  besok sampai hari Jumat. Gimana sih kamu! (Ini yang selalu diucapkan Kai kalau menyalahkan orang lain :D). Padahal kami baru saja melewati Golden Week Part 1. Ya, untuk yang mengambil cuti tanggal 1 dan 2 Mei memang akan menjadi libur GW yang panjang! 9 hari libur berturut-turut. Tapi untuk yang majime, (rajin /tidak berani ambil cuti) tentu saja akan ada GW part 1 (28-29-30 April)  dan part 2 (3-4-5-6 Mei) .

Nah GW part 1 untuk deMiyashita benar-benar biasaaaaa saja. Maksudnya : tidak ke mana-mana. Kami cuma bisa libur bersama hari Minggu dan Senin. Jadi setelah pergi ke gereja Minggu pagi, kami langsung pergi ke Yokohama ke rumah mertua dan melewati GW part1. Karena tanggung rasanya mau pergi ke tempat-tempat wisata kalau sudah tengah hari. Dan mungkin kami tidak bisa datang ke rumah mertua pada part ke dua, jadi lebih baik hari Minggu itu.

Riku serius membaca manga (komik) Thermae Romae yang dibeli papanya

Seperti biasa jika di rumah mertua kami cuma makan-makan dan minum-minum, santai lalu tidur. Tapi Gen sempat membeli sebuah komik (manga) berjudul Thermae Romae karya Yamazaki Mari. Aku tahunya bahwa ini adalah judul sebuah film yang baru saja diputar di bioskop Jepang. Rupanya aslinya manga hihihi, baru tahu! Film ini memang menjadi topik pembicaraan kami hari Sabtunya. Karena Gen ingin menonton film itu, dengan alasan : tema cerita yang menarik. Aku sendiri sudah tahu lama bahwa akan keluar film itu, karena pemeran utamanya adalah Abe Hiroshi, aktor Jepang yang tingginya hampir 190cm, dan KEREN! (kudu pakai huruf besar hehehe). Wajahnya tidak seperti orang Jepang deh…. cakep 😉 Idolaku deh 😀 Dan dia muncul dalam sebuah acara TV yang mewawancarai dia dan artis yang bermain bersama. Di situ si artis bilang begini “Susah sekali konsentrasi karena dia telanjang bulat terus!” hahaha.

Pemeran utama : Abe Hiroshi dan artis Ueto Aya

Jelas saja telanjang bulat, karena cerita Thermae Romae itu berhubungan dengan MANDI. Yaitu tentang seorang “arsitek” pemandian air panas umum yang disebut thermae (hot spring) di Roma pada abad 200AD bernama Lucius Modestous (diperankan Abe Hiroshi). Nah dia mengalami “time slip” alias berpindah waktu ke jaman sekarang, yaitu ke pemandian (umum) Jepang. Pertama dia “mendarat” di Sento, pemandian umum Jepang dan terkejut bertemu dengan “orang orang bermuka datar” atau “budak-budak”. Tapi yang dia temukan di Sento itu amat menakjubkan. Misalnya susu rasa buah, ember dan gayung dari kayu  untuk mandi sebelum masuk bak, noren (kain tirai di pintu masuk), dan lukisan gunung Fuji besar di dinding. Dan dia kembali lagi ke abad 200AD setelah salah masuk kamar mandi wanita dan dilempar ember.

Pengalaman Lucius di Jepang itu kemudian diaplikasikan untuk pemandian air panas THERMAE di Roma saat itu. Dinding dihias gunung Pompey, dan dilengkapi ember kayu (lengkap dengan tulisan katakana) dan dijual juga susu rasa buah. Angin baru yang dibawa Lucius membuat namanya sebagai arsitek pemandian mulai menanjak. Sampai suatu kali dia dipanggil oleh kaisar Roma saat itu Hadrianus. Hadrianus ternyata juga berjiwa seni tinggi dan menghargai hasil kerja Lucius. Dia meminta Lucius membuat pemandian-pemandian menarik lainnya. Karena bagi orang Roma Thermae amat penting dalam kehidupan mereka.

4 orang aktor ini tidak seperti orang Jepang umumnya kan 😀

Saat dia sedang bingung untuk memenuhi permintaan kaisar, dia terseret lagi ke peradaban sekarang, yaitu di sebuah showroom toilet/kamar mandi. Wah wah wah di situ dia melihat berbagai “kemajuan” jaman sehingga menambah lagi kebingungannya mengapa si budak-budak berwajah rata itu bisa begitu maju kebudayaannya 😀 Nah bisa bayangkan deh kalau orang Roma kuno melihat Jaccuzi (Whirl pool), dengan kamar mandi yang dilengkapi video, WC otomatis yang terbuka jika masuk, lengkap dengan bidet (shower untuk cebok), dan dilengkapi papirus a.k.a tissue WC 😀 Laluuuuu semuanya diaplikasikan di jamannya. Fantastic, bukan?

poster film

Tapi memang untuk menonton film ini, kita perlu mengetahui banyak hal kebudayaan “mandi” di Jepang. Kalau tidak ya tidak bisa melihat sisi “lucu” dari film ini. Aku berdua Riku bisa ikut tertawa dalam banyak hal bersama orang Jepang yang memenuhi studio 2 saat itu. Padahal biasanya orang Jepang paling jarang kudengar tertawa di bioskop. Belum lagi semua kursi penuh! Memang film ini baru dirilis tgl 28 April. Tapi Riku yang jeli mengatakan pada papanya, “Papa harus nonton deh, karena komik manganya tidak sama dengan filmnya”. Tentu saja untuk membuat cerita di film lancar, kadang isi cerita originalnya lain dengan filmnya.

Kenapa papa Gen tidak ikut menonton bersama kami? Ya karena kami memutuskan untuk “berpisah” di bioskop. Aku menemani Riku menonton “Thermae Romae” sedangkan papanya menemani Kai yang mau menonton Kamen Rider. Aku tidak suka Kamen Rider sih, jadinya tidak mau menemani Kai. Coba kalau Kai mau menonton Conan, pasti aku lebih pilih Conan daripada Thermae ini. Eh tapi seneng juga sih menonton Thermae, apalagi bisa melihat idolaku si Abe san 😀 dan aku setuju pada pendapat Gen bahwa ceritanya unik.

Bagi yang mau mengetahui sedikit tentang “mandi” di Jepang silakan baca:

Kei-chan dari Pemandian Fukunoyu

 

 

 

Gotcha A Gacha-gacha

Pernah tahu film “Gotcha”? Pasti banyak yang lahir sesudah tahun 1985 jadi tidak tahu film ini. Tapi bagi anak angkatan 80-an pasti tahu film tentang pelajar yang menjadi spy ini. Aku sendiri yang tidak hobby nonton film tertarik dengan film ini. Mungkin karena waktu itu aku masih SMA dan membayangkan kejadian itu dialami sendiri. Apalagi Linda Fiorentino, artis pembantu dalam film itu kuanggap mirip aku (kebalik ya mustinya hahaha) dengan rambut hitam pendeknya..

aduhay kakinya.... si Linda ini memang masuk dalam 100 cewe terseksi sih.

Gotcha itu berarti “I’ve got you” atau bahasa belanda Indonesianya, “ketangkep lu!” . Dan tidak ada hubungannya dengan gacha-gacha yang banyak dijumpai di Jepang. Gacha-gacha itu apa?

Gacha-gacha adalah sebutan kesayangan untuk mainan mini dari Capsul Toy. Masukkan uang sejumlah yang tertera di mesin itu, misalnya 10 yen, 100 yen, 200 yen atau 500 yen, (kebanyakan sih 100 dan 200 yen) dan memutar tuas yang ada. Kemudian sebuah bola plastik yang berisi mainan akan keluar yang mutunya tentu sesuai harganya. Waktu memutar tuas sampai mengeluarkan mainan dalam bola itu berbunyi seperti “gacha-gacha”, karenanya dinamakan gacha-gacha.

Padahal mesin capsul toy ini awalnya adalah mesin penjual permen karet bulat yang ditemukan di Amerika. Masuk ke Jepang tahun 1965, dan pada tahun 1970 dikembangkan menjadi mesin penjual mainan. Gacha-gacha ini pertama kali ditempatkan di Asakusa, dan meluas dari tempat bowling, tempat penjualan snack, supermarket, bahkan sekarang di depan toko kombini. Apalagi isi mainan gacha-gacha ini bermacam-macam yang dijual oleh perusahaan-perusahaan terkenal seperti Bandai (si pencipta Ultraman) dan yujin.

Pinter banget deh toko Yodobashi camera, menempatkan gacha-gacha sebanyak ini di sepanjang jalan menuju WC. Untung Kai tidak merengek minta dibelikan. Anak sapa dulu dong 😀 (Mamanya serem sih hahaha)

Pasar utamanya tentu saja anak-anak, dan musuh utamanya adalah orangtua 😀 Bayangkan saja, setiap mau masuk toko, orang tua sibuk menolak permintaan anak-anak untuk “main” (beli) gacha-gacha. Lumayan kalau setiap kali pergi ke toko harus mengeluarkan 100/200 yen kan? Tapi sebetulnya dibandingkan dengan mainan sungguhan yang berharga 1000 an, dengan uang yang sama bisa 5 kali yah hehehe. Benar deh perusahaan yang mengembangkan capsul toy ini pinteeeer sekali! Pasti laku terus kok.

Satu lagi selain gacha-gacha yang aku rasa pinter adalah pemilik restoran (biasanya sih family restoran) yang menyediakan (baca menjual) mainan di rak samping kasir pembayaran di pintu masuk. Anak-anak pasti tertarik untuk mampir dan memilih-milih dan minta (merengek) pada orang tuanya untuk dibelikan. Untung saja biasanya di restoran seperti itu ada menu khusus untuk anak-anak, kids meal , yang jika kita pesan itu akan mendapatkan mainan (murahan sih, paling mahal 100yen). Tapi dibanding mainan yang dijual seharga 600-1000 yen tentu saja orang tua akan lebih memilih kids meal ini. Meskipun biasanya ada saja kakek nenek yang termakan rayuan cucunya dan membelikan mainan mahal itu. Atau paling tidak  si cucu “gotcha” a “gacha-gacha”.

NB: Yang mau dengar OSTnya Gotcha bisa dengar di sini http://www.youtube.com/watch?v=LrxOfep_i7w

 

From Paris with Love

Ya, sebuah judul film yang dibintangi John Travolta, Sabtu lalu  menjadi tema perbincangan aku dan Gen dalam kereta. Tidak biasanya Sabtu pagi Gen harus dinas luar dan harus menggunakan kereta. Dalam hujan, Gen, aku dan Kai naik bus menuju stasiun. Setelah menitipkan Kai, kami berdua naik kereta sampai Shinjuku. Canggung juga rasanya berduaan naik kereta, kapan terakhir kami berdua naik kereta ya? Mungkin sebelum Riku lahir…lebih dari 7 tahun yang lalu.

Kesempatan ini kami pakai untuk bercerita macam-macam dengan suara lirih tentunya. Tentang apartemen-apartemen yang baru dibangun, tentang tempat tujuan kunjungan di liburan golden week (29 April-5 Mei) nanti (yang sepertinya dia tetap harus bekerja–dan akhirnya aku juga ada terjemahan baru)…dan saat itu kami melihat poster filmnya John Travolta, From Paris with Love di dalam kereta.

bukan ini sih poster yang kami lihat. yang ini masih pakai alfabet semua

Bukan, bukannya kami mau menonton. Selain membicarakan John Travolta yang sudah “gaek” (duh filmnya yang dulu Saturday Night Fever… waktu itu aja kita sudah SMP kan, sekarang  dia masih juga main film), terlambatnya film-film hollywood diputar di Jepang (bahkan lebih cepat Indonesia daripada Jepang untuk hal penayangan begini. sebabnya bisa dibaca di sini) , kami juga membicarakan tentang terjemahan JUDUL film.

Judul filmnya si Travolta itu dalam bahasa Jepang adalah パリより愛をこめて (Pari yori ai wo komete), dan setelah aku cari info di HP, memang benar jika diterjemahkan kembali adalah “From Paris with Love”. OK berarti terjemahan judul bahasa Jepangnya sama dengan judul aslinya. TAPI hal ini jarang terjadi! Maksudku, jika kita menonton film Hollywood atau yang aslinya bahasa Inggris di Jepang, harus siap-siap BINGUNG dengan judul bahasa Jepangnya. Karena biasanya jika diterjemahkan kembali maka tidak sama bahkan jauh dari judul aslinya. Dan …itu cukup membuat pusing kepala orang-orang asing alias gaijin di Jepang.

Yang aku tahu misalnya film “Basic Instinct” nya Sharon Stone, judulnya menjadi 「氷の微笑」(Koori no bishou – Senyum Es) 1992. Atau “Sliver” menjadi 「硝子の塔」 (Garasu no Tou – Menara Kaca 1993). Atau untuk film baru, contohnya film Disney yang di dalam bahasa Inggris hanya “UP”, diterjemahkan menjadi 「カールじいさんの空飛ぶ家」(Ka-ru jiisan no Soratobu ie — Rumah Terbang Kakek Carl  2009).

Well, memang akan kaku rasanya jika semua film berbahasa Inggris diterjemahkan secara harafiah, atau memakai tulisan katakana semua.” Blue Pasific Stories” ditulis katakana semua : ブルー・パシフィック・ストーリーズ, “Alice in Wonderland” アリス・イン・ワンダーランド, kalau pendek seperti “Avatar”  アバータ sih masih mudah membacanya, tapi kalau panjang, bisa puyeng juga (yang puyeng emang aku yang gaijin orang asing sih…orang Jepang ngga puyeng karena katakana kan tulisannya mereka juga). Tapi pusing juga kalau harus mengira-ngira judul dengan tulisan kanji itu judul aslinya apaan. Sering aku pikir, kenapa sih tidak “begitu saja” tulis judul dalam bahasa Inggris dengan alfabet? Supaya orang Jepang terbiasa baca alfabet nih! Katanya mau globalization…jangan nanggung hehehe.

Aku jadi berpikir, orang Indonesia ternyata tidak mempunyai masalah dengan penerjemahan film seperti di Jepang ya? Ah, aku juga sudah lama sekali tidak menonton di Jakarta, jadi tidak tahu kondisi film asing sekarang. Apakah juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan apakah memakai subscript atau dubbing? Yang pasti kita tidak harus pusing menerjemahkan judul.

foto jadulku yang aku kasih judul: from rusia with love..tuh kan narsis, bilang aja mau mejeng foto hahaha

Kencan

(Ini merupakan postingan ke dua hari ini, setelah Pohon Keramat)

Biasanya pasangan kalau berkencan ke mana sih? Yang aku tahu Bioskop merupakan tempat kencan yang biasanya menjadi tujuan pasangan yang berpacaran. Apalagi kalau fimnya film ngeri…kan bisa “pura-pura” takut lalu menggenggam tangan si pemuda, atau mendekap lengannya hihihi (duh mel, itu jadul…kalo sekarang mungkin udah bebas c**man di bioskop). Aku sendiri waktu masih single dan masih sering diajak date a.k.a kencan biasanya menghindari menonton di bioskop. Baca aja deh di sini, aku dan Gen biasanya kencan di museum atau pameran lukisan hahaha. Meskipun bukan berarti aku tidak pernah pergi berdua dia ke bioskop loh. Kami pernah menonton di Bioskop yaitu film Ponnette, Shall We Dansu dan Nankin no Kirisuto  (yang teringat cuma itu sih).

Kemarin (30 Maret 2010) Tokyo dingin sekali. Pagi Riku mengeluh sakit perut, jadi setelah mengantar Kai ke penitipan jam 9 pagi, kami langsung pergi Rumah Sakit. Oleh dokternya dikatakan mungkin cuma luka di usus, apalagi hari Minggu lalu Riku mengeluh kotorannya berwarna hitam. Jadi disuruh periksa feses, dan minum obat.

Selesai dari RS sudah jam 12 siang. Padahal tadinya kami mau pergi ke tempat  bermain dekat rumah di Toshimaen. Tapi sudah siang begini, selain kami harus kembali pukul 4 sore, angin bertiup kencang dan dingiiin sekali. Karena itu aku mengajak Riku pergi ke Kichijoji untuk pergi ke toko khusus pekerjaan tangan Yuzawaya. Toko ini menjual segala rupa alat dan bahan untuk prakarya, mulai dari kain, benang sampai prakarya membuat beads dan bahan kulit. Paling sedikit aku bisa membelikan Riku Jigsaw Puzzle dan piguranya untuk mengisi liburannya.

Tapi waktu kami sampai di depan toko yang terdiri dari 7 tingkat itu, ternyata toko itu sudah tutup tanggal 28 yang lalu, dan akan dibuka di tempat lain pada tanggal 2 April. Pindah bangunan! Yahhhhhh, aku kecewa sekali.

Persis waktu itu aku melihat di depan toko itu ada bioskop dan memutar 2 film anak-anak, Doraemon dan G-Force. Hmmm mungkin sekarang waktunya aku menemani anakku menonton. Dan Riku sangat ingin menonton G-Force, sehingga akhirnya aku membeli karcis, 1800 yen untuk dewasa dan 1000 yen untuk anak SD. Film dimulai pukul 2:30.

Dilarang merekam suara dan gambar dalam bioskop!!! Kalau ada hukumannya berarti pernah ada yang melakukannya ya?

Seperempat jam sebelum pukul 2, kami sudah naik ke lantai 5, studio tempat memutar G-Force. Untung bukan basement, karena aku masih suka phobia berada di bawah tanah. Dan sebetulnya kali ini aku menonton setelah 10 tahun lebih tidak menonton di bioskop. Aku tidak bisa masuk bioskop karena gelap (mana ada bioskop terang benderang sih?), dan aku phobia gelap. Sambil menunggu, aku sempat melihat poster peringatan untuk tidak merekam gambar dan suara film yang sedang ditonton. Weleh ternyata di Jepang ada juga ya kejahatan ini hihihi. Hukuman penjara 10 tahun dan/atau 10.000.000 yen!!!! (Termasuk penyebaran/pemutaran di web dan copy DVD)

Wahhh studio yang berisi 260 kursi empuk itu hanya ditempati 10 orang… serasa nonton di rumah sendiri deh. Yang juga aku perhatikan merupakan pemikiran bagus adalah, adanya tambahan bantalan kursi untuk anak-anak, yang bisa diambil sendiri bagi yang memerlukan. Kalau orang dewasa yang duduk di depannya, pasti akan tertutup kepala orang itu, jika tanpa tambahan bantalan tersebut.

Riku duduk pakai tambahan bantal. Empuk banget kursinya, aku sempat tertidur loh sebelum film mulai hihihi

Filmnya sendiri? Yah begitu deh film Disney, meskipun tidak membuat terharu, cukup seru. Yang aku kagum memang bagaimana mereka bisa membuat cerita dengan topik binatang. Hampsternya lucu tapi kecoaknya tidak…semanis-manisnya kecoak, aku tidak pernah bisa suka deh hihihi. Yang bikin geli juga si Hampster yang punya akun FB…. kalau misalnya film itu kenyataan, betapa FB merupakan fenomena hebat karena bisa populer sampai dunia binatang ya hihihi.

Tikus Tanah (Mogura)dan Hampster jagoan.. .. yang aku masih takjub apa benar hidungnya tikus tanah pink dan seperti ulat begitu ya? Belum pernah lihat aslinya sih.

Oh ya, waktu kami masuk ke dalam bioskop, kami membeli popcorn dan minuman botol. Kenapa ya bioskop = popcorn? kenapa ngga makanan lain ya? Atau ada yang punya pengalaman membawa makanan lain waktu menonton di bioskop? (Jangan bilang nasi soto ya hahaha)

Pengalaman nonton kemarin membuat aku yakin bahwa aku sekarang sudah bisa nonton di bioskop, asal tidak penuh orang. Jadi …. siapa ya mau ajak aku date nonton? hihihi

Tokyo Tower and mother

Jumat malam, anak-anak sudah tidur jam 9 malam. Saya menemani Gen yang baru pulang untuk makan malam sekitar jam 10 sambil bercerita soal Riku,Kai dan hariku di universitas. Dan saat itu Gen mengganti chanel TV yang tadinya berita, menjadi sebuah adegan film. Waktu itu tepat adegan seorang laki-laki yang pulang ke rumah bersama pacarnya, dan sang Ibu menyambut dengan masakan yang hangat. Hommy.

Dan aku tahu, film ini adalah sebuah film yang bagus, karena pernah diulas di televisi, sehingga merasa sayang kami mulai menonton sudah setengah (biasanya film dimulai jam 9 malam dan selesai jam 11 malam). Cerita tentang seorang anak lelaki yang ibu dan bapaknya bercerai karena main perempuan. Umur 3 tahun, dia dibawa ibunya ke rumah kakek-neneknya di desa, dan dibesarkan oleh ibunya yang bekerja banting tulang sendirian.  Setiap hari dia makan masakan ibunya yang sangat lezat (ofukuro no aji) , sampai dia berumur 15 tahun ingin berdikari dan pergi dari sarangnya (baca: desanya). Menuju Tokyo, dia masuk SMA kesenian dan akhirnya Institut Kesenian. Antara lulus dan tidak, ancaman menjadi mahasiswa abadi, dia tetap dikirimi uang kuliah oleh ibunya, bahkan sampai dia membuat hutang sana sini.

Salah satu adegan yang terkenal. Hei, kapan terakhir Anda menggandeng Ibu Anda?

Setelah dia berhasil menjadi “orang” (sebagai penulis), melunasi hutangnya, dan dia memanggil ibunya untuk tinggal bersama di Tokyo. Setahun pertama dia mengajak ibunya jalan-jalan dan menikmati Tokyo. Ya, saya ikut menangis waktu melihat adegan si Pemeran Utama menggandeng ibunya menyeberangi jalan. Hei, anak laki-laki…. kapan terakhir kamu menggandeng ibumu? Dalam adegan itu Si Anak mengatakan pikirannya, “Aku pertama kali menggandeng ibuku. Aku yang menggandeng ibuku. Dulu waktu aku kecil Ibuku yang menggandeng aku. Sekarang dia mulai melemah, aku yang menggandeng dia”. Duh… aku juga jadi kangen mama. Kapan terakhir aku menggandengnya?

Waktu kukecil, ibuku yang menggandengku.....

Waktu kukecil, ibuku yang menggandengku.....

Adegan itu menjadi semakin menyedihkan karena saat itu dia sudah tahu bahwa ibunya menderita kanker, dan harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Kemoterapi. Sang Anak harus melihat ibunya yang kesakitan menahan efek sesudah kemo seperti mual-mual dan kejang-kejang. Duhhh,  akting pemeran ibu yang memang artis kawakan itu hebat … tapi waktu saya melihat film itu saya tidak henti menangis dan berdoa, semoga ibu atau keluarga saya jangan sampai ada yang harus menderita kanker. Tidak tahan atas rasa sakit treatment kemoterapi itu, sang Ibu minta supaya treatment itu dihentikan. Dan dokter berkata pada sang Anak, hidup ibunya tinggal 2 bulan lagi.

Yang juga menjadikan film ini benar-benar filmnya orang Jepang adalah adegan  perjuangan sang Anak untuk menulis novel dan ilustrasi yang deadlinenya persis di hari pemakaman ibunya. Di sebelah jenazah ibunya, dia menulis, menulis dan menulis terus, sambil bercakap-cakap dengan ibunya. Dan terakhir dia tidur kelelahan di samping jenazah ibunya setelah menyelesaikan tulisan yang ditagih penerbit.

Pada suatu hari yang cerah, Sang Anak membawa Ihai (kayu bertuliskan nama yang diberikan pendeta Buddha, fungsinya sama dengan batu nisan)  menaiki Tokyo Tower, dan memenuhi janjinya memperlihatkan kota Tokyo dari atas. Tokyo Tower tu juga selalu terlihat dari jendela kamar ibunya di Rumah Sakit.

a real multitalented

a real multitalented person

Judul film ini  “Tokyo Tower, my mom, me and sometimes my father”. (東京タワー オカンとボクと時々オトン). Ditulis oleh “Lily Franky” , nama lain dari Nakagawa Masaya, yang berangkat dari kisah nyatanya yang dinovelkan. Dijadikan drama seri di televisi pada tahun 2006, dan kemudian menjadi film di layar lebar tahun 2007.  Novelnya sendiri mendapat penghargaan HonyaTaisho 2006 (penghargaan yang diberikan oleh Serikat Toko Buku kepada buku yang terlaris tahun itu) . Waktu saya mencari siapa sih Lily Franky itu, ternyata dia adalah multi talented person yang berprofesi sebagai illustrator, writer, penulis essei, novelist, art director, designer, pemusik, pencipta lagu, aktor, fotografer….. (uhhh bikin ngiri ngga sih tuh?). Foto diambil dari CinemaToday.

Pemeran Sang Anak adalah seorang aktor muda yang lumayan terkenal bernama Odagiri Joe. Ibu diperankan artis Kiki Kirin. Wah kalau artis ini memang hebat kalau memerankan seorang ibu yang tangguh. Dan dia adalah ibu mertua dari Motoki, Mokkun, aktor yang pernah saya bahas dalam film Okuribito, Sang Pengantar.

Setelah film itu selesai, kami berdua menyayangkan karena menonton tidak dari awal. Tapi saya mungkin tidak mau menonton ke dua kalinya, karena saya tahu pasti saya akan menangis terus, dan menjadi homesick ingin bertemu mama. Dan kami baru sadar saat itu bahwa film ini diputar untuk merayakan Hari Ibu, Mother’s Day yang jatuh pada hari ini, tanggal 10 Mei 2009. So untuk semua Ibu, Happy Mother’s Day. (I love you MyMama…. really do). Dan saya juga mau memberikan selamat khusus kepada Mbak Tuti Nonka yang hari ini berulang tahun. Happy Birthday to you mbak Tuti …. I love you too.

Hari Ibu Internasional selalu dirayakan pada hari Minggu ke dua di bulan Mei,demikian pula Father’s Day yang dirayakan pada hari Minggu ke tiga bulan Juni. Jika ingin tahu coba buka saja portal yahoo.com hari ini, dan di situ ada animasi kangguru memberikan bunga Tulip pada ibu Kangguru.

NB:
Saya berkata pada Gen, “Saya selalu bilang pada orang-orang bahwa saya tidak suka menonton, tapi kok lumayan sering menulis tentang film di T.E. ya? hihihi.”
Katanya, “Kamu harus berterima kasih sama aku”
huh….

hihihi have a nice SUNDAY.

Mamma Mia!!! kok lelet banget ya?

Tadi pagi ada sesuatu di televisi yang membuat suami saya terlambat pergi kerja. Yaitu sebuah interview televisi Jepang dengan Merryl Streep, si pemain di film “Mamma Mia”. Wah memang dia sudah tua ya, sudah terlihat keriput di sana sini. Tapi ada satu kata-katanya yang cukup memberikan inspirasi (ah kata-kata ini aku tidak begitu suka… tapi ngetrend banget sih di Indonesia) yaitu, “Keep your spirit, jangan mau kalah dengan umur. Tapi jangan mengingkari umur juga. Yang penting jangan putus asa! ” 年に負けず Kira-kira begitulah kata-kata dia yang sudah diterjemahkan dengan subscript 字幕 di bagian bawah dalam tulisan bahasa Jepang (Dan saya selalu membaca script-script seperti itu, makanya saya benci jika terjemahannya salah)

Kenapa juga Merryl Streep diwawancarai hari ini? Ternyata hari ini , ya HARI INI tanggal 30 Januari 2009, FILM MAMMA MIA itu baru diputar di bioskop-bioskop di Jepang. WELL, coba baca ulasan adikku si Lala di sini. Postingannya di tanggal 13 Oktober jeh. Di Indonesia sudah main lama (udah kunoooo). Tapi di Jepang baru hari ini. Saya juga sudah bisa (sudah bisa bukan berarti sudah menonton loh… lain sekali… ) nonton di dalam pesawat SQ waktu pulkam akhir Oktober-November lalu. TAPI di bioskop Jepang, orang-orang Jepang baru bisa nonton HARI INI. Kenapa kok bisa begitu?

Ya, ini adalah sebuah masalah yang kelihatannya sulit untuk diatasi oleh masyarakat film di Jepang. Sudah pasti film-film dari Luar Negeri baik itu film hollywood atau film asing lainnya membutuhkan penerjemahan. Penerjemahan itu bisa berbentuk subscript (tulisan di bawah kalau di Indonesia dan di samping kanan kalau di Jepang — karena tulisan kanji itu dari atas ke bawah-kanan ke kiri) atau sulihsuara. Akhir-akhir ini lebih banyak film yang memakai sulih suara. Jadilah kita menonton film action di Swachi -chan ( Schwarzenegger)   dengan suara om-om Jepang yang terus terang saja TIDAK MACHO sama sekali. Kalau sudah dipasang di televisi memang kita bisa switch ke bahasa asli atau bahasa Inggris, tapi kalau di bioskop kan tidak bisa seenak perut. Pasti yang dipasang yang bahasa Jepang.

Film Wall-e yang Riku tonton bulan Desember lalu juga sudah di-sulihsuarakan ke dalam bahasa Jepang! Oi oi… makanya orang Jepang sampai kapanpun akan sulit berbahasa Inggris karena tidak terlatih!. OK deh Karena Wall e adalah konsumsi anak-anak yang belum bisa bahasa Inggris, mau tidak mau memang harus memakai sulih suara. Saya katakan MAU TIDAK MAU!. kenapa? Ya karena sulit untuk memberlakukan penulisan subscript terjemahannya di dalam film. Nah! kenapa lagi tuh.

Untuk menerjemahkan pembicaraan bahasa Inggris ke dalam bahasa Jepang tentu saja memakai KANJI. Pengetahuan Kanji anak-anak SD- SMP tentu saja masih terbatas. Akan ada banyak tulisan yang mereka tidak bisa baca dan mengerti. Yah, kalau begitu pakai hiragana saja. Nah itu dia masalahnya, kalau pakai hiragana maka kalimat yang harus ditulis akan semakin panjang. Ternyata ada ketentuan bahwa panjangnya satu subscript film hanya boleh memakai 13 huruf dalam 2 baris. Alasannya manusia hanya bisa membaca 4 huruf dalam 1 detik. Dan ternyata sekarang pun jumlah huruf yang 13 itu menjadi semakin sulit. Banyak pemuda Jepang yang tidak keburu membaca 13 huruf itu. Ini berhubungan dengan menurunnya kemampuan pemuda Jepang menguasai Kanji, menurunnya berbagai pengetahuan umum, termasuk sejarah dan budaya. Misalnya Soviet dalam bahasa Jepang disebut ソ連(それん), dan banyak pemuda yang tidak tahu apa itu.

Jadi sekarang banyak pengimpor film asing yang berputar haluan membuat sulih suara untuk film-film yang akan diputar di bioskop maupun di video. Dan proses pembuatan sulih suara itu memang lebih memakan waktu daripada hanya menambahkan subscript pada film. Karena proses panjang itulah sering kali kami yang di Jepang harus menunggu film-film baru hollywood yang sudah diputar di Indonesia paling cepat 3 bulan sesudahnya. Ironis ya? Dan JUDUL FILM nya bisa berubah, disesuaikan dengan bahasa Jepang misalnya Basic Instinct jadi 氷の微笑 (harafiah nya senyum es). Karena itu saya paling benci kalau murid-murid saya memberitahukan judul film holywood yang sudah diterjemahkan. Pasti saya tanya, “Bahasa Inggrisnya apa?” hehehhe. Dan tentu saja mereka tidak tahu! Kalau sekarang enak, bisa tanya sama Paman Google. Dulu belum lahir tuh Pamannya.

Sebagai tambahan saya juga ingin menceritakan pengalaman nonton bioskop di Tokyo. Saya tidak tahu apakah akhir-akhir sudah berubah, tapi yang pasti jika kita mau nonton film di bioskop, kita membeli karcis secepat mungkin. Kalau film baru malah biasanya harus antri berjam-jam. Nah, kalau di Indonesia kan biasanya kita bisa memilih tempat duduk yang ada, sehingga kita bisa pergi dulu jalan-jalan dan sebelum film mulai kita kembali ke gedung bioskop itu. Nah, kalau di Jepang, tidak ada sistem memilih tempat duduk. Siapa cepat masuk dia bisa memilih mau duduk di mana. Karena itu, sesudah membeli karcis, semua akan antri lagi di depan pintu masuk. Bayangin deh, dengan tiket di tangan kita masih musti tunggu lagi 1 jam untuk berebut tempat! Bete bete deh. Pernah saya mau membeli tempat duduk VIP saja. Eeee ternyata tempat duduk VIP itu bedanya hanya berada persis di tengah-tengah bioskop dengan tanda alas duduk berwarna putih! Mending kalau kursinya kursi sofa empuk bisa selonjoran. No! sama seperti yang lain tapi ada alas sandaran bahu/leher berwarna putih. Harganya? dobel …. HuH! Mending nonton DVD di rumah saja. Tapi mungkin juga sistem ini sudah berubah, soalnya sudah lama tidak nonotn film di bioskop sih.

Tapi yang enak sih memang dulu pernah nonton film di bioskop di daerah Chiba (desa? …heheeh jangan marah ya untuk mereka yang tinggal di Chiba). Kita bayar satu film tapi bisa nonton berkali-kali asal tidak keluar dari bioskopnya. Jadi bisa juga masuk tengah-tengah film duduk, dan nonton lagi mulai awal (jadi bisa nonton satu setengah film hahahaha… bener-bener deh gaya mahasiswa. Kalo anak 80-an bilangnya BOKIS!!! (Yang pernah ngajak saya nonton di Chiba baca posting ini ngga ya hehehe)

So, apakah saya akan nonton Mamma Mia hari ini? TIDAK. Hari ini hujan terus, dan saya tidak suka menonton. Nanti saja kalau saya naik SQ ke Singapore mungkin bisa menonton film baru dalam pesawat (kalau Kai tidak rewel— Kalau Riku sih enjoy banget nonton film dia, waktu itu pp dia menonton Kungfu Panda dan terbahak-bahak sendirian. Dan film itu memakai sulih suara bahasa Jepang! )

(Tadi sempat lihat trailernya di http://www.mamma-mia-movie.jp/enter.html     hmmm si Pierce Brosnan sudah tua ya —well saya juga sudah tua sih—  padahal aku suka banget sama dia waktu main di Return of the Saint)

Gara-gara Cosmos

Waaaha siapa lagi tuh si Cosmos? (Bukan Cosmas loh, kalo Cosmas memang banyak dari Batak tuh). Yang pasti Cosmos ini bukan nama bunga yang pernah saya bahas di sini. Tapi Cosmos adalah nama sebuah komputer sistem pengatur Shinkansen Jepang Utara. Gara-gara dia kecapekan, hari ini sekitar 112 dari 380-an shinkansen yang harusnya berangkat terpaksa dibatalkan. Waktu mendengar berita pertama mengenai keterlambatan Shinkansen Tohoku pagi ini, Gen berkata, pasti itu gara-gara salju. Memang badai salju sedang melanda Jepang Utara. Tapi ternyata penyebabnya ya sistem trouble, kesalahan si Cosmos ini. Tetapi secara tidak langsung badai salju juga turut berperan sehingga si Cosmos akhirnya “meledak”. Karena Badai salju, dial (jadwal kereta) kemarin banyak yang tidak tepat. Nah pagi dini hari sebelum jadwal shinkansen mulai pagi ini diberikan input data jadwal baru. Dn ternyata karena terlalu banyak data baru itu menyebabkan si Cosmos ngambek. Biasanya kalau ngadat begini dalam waktu 1 jam bisa diselesaikan, tetapi hari ini paling sedikit 3 jam shinkansen lumpuh. Sekitar 137.000 orang yang akan mudik ke kampung halamannya terpaksa menunggu di stasiun selama tiga jam dalam dingin. Brrrrr.

Foto diambil dari sini

Puncak mudik diperkirakan tanggal 30 dan 31 besok. Semua orang ingin bergabung dengan sanak-saudaranya di kampung halaman untuk melewatkan pergantian tahun dari tahun Tikus menjadi tahun Sapi. Pada waktu-waktu seperti ini memang paling enak yang tetap tinggal di Tokyo dan sekitarnya, karena lalu lintas dalam kota akan menjadi sepi. Akan tetapi memang diperkirakan 2 hari lagi udara yang sekarang lumayan hangat akan menjadi dingin, menjadi musim dingin yang sebenarnya. Ah…tetapi yang paling enak lagi adalah Tina yang sekarang sedang melewatkan liburan di Jakarta…. duh iri hati deh… urayamashii

Di saat seperti ini kita disadarkan betapa manusia sekarang terlalu bergantung pada sistem komputer. Begitu sistem itu error, heboh deh… Tapi akhirnya yang membetulkan sistem itu juga manusianya. Manusia memang masih diperlukan, secanggih-canggihnya suatu sistem. Dan ngomong-ngomong soal komputer, kemarin aku dan Gen menerima hadiah Natal dari…. masing-masing hehehhe. Untuk Gen aku beli Harddisk external 1 TB (satu Tera byte)… dengan harga yang UNBELIEVABLE  (eh eh eh…masak pengucapan Japlish nya untuk kata ini ANBELIBABO hihihi). iya…. hanya 12.000 yen saja. Mereknya Buffalo, sebuah merek yang selalu aku pakai untuk urusan memory data. Padahal produsen lain masih memberi harga 18.000 – 28.000 yen (saya pernah posting di sini). Dan karena HD externalku yang 160 GB juga sudah mulai penuh, aku beli yang 640 saja, beda harganya 4.000 yen (yaitu 8000 yen dari produsen IO Data). Sebetulnya bisa saja sih beli dua yang sama, cuma Buffallo yang 1 TB itu hanya ada warna hitam (warna PC nya Gen hitam sih), sedangkan aku maunya putih… Dan 1TB yang putih muahaaaaalll (mahal maksudnya heheheh)

Hari ini Riku dan papanya pergi lagi ke Kichijoji untuk menonton Film Wall-E. Harga Tiket di sini 1800 yen untuk dewasa dan 1000 yen untuk anak-anak. Di dalam film terdapat adengan bergandengan tangan, dan katanya Riku pun menggandeng tangan papanya sambil menonton. Gen menjadi terharu di situ…. Film Wall-e ini baru diputar di bioskop jepang mulai tanggal 10 Desember yang lalu. Semua disulih suara dengan  bahasa Jepang. Riku dan Gen menonton pertunjukan jam 11:45, jadi pas waktu makan siang. Tapi meskipun begitu bioskop penuh dengan keluarga yang menonton. Untung juga menonton jam segitu karena pertunjukan berikutnya sudah terdapat antrian yang panjang sekali.

Imelda dan Kai? Hari ini di rumah saja. Sambil nge-print kartu Tahun Baru, aku bermain dengan Kai dan membacakan buku untuk dia. Kelihatan Kai juga suka pada buku. Dia memilih sendiri buku yang ingin dia lihat. Tapi gara-gara Kai aku membuat kesalahan fatal, yaitu tujuan pengiriman Kartu Tahun Barunya semua menjadi 3 lembar. Rupanya cursor untuk menunjukkan berapa copy tergeser menjadi tiga waktu Kai “mengganggu” komputer saya. Dan saya tidak sadar sama sekali, sampai saya heran kenapa waktu pencetakan begitu lama. Tetapi semuanya sudah terlambat. Terpaksa saya kumpulkan 2 lembar yang lain (kan aneh jika orang menerima 3 lembar katu tahun baru dari saya…nanti dipikir saya sudah rada-rada hehehhe) , ada kira-kira 50 lembar, untuk besok dikembalikan ke Kantor Pos. Nah sistem ini juga aneh menurut saya. Kartu pos Tahun baru itu memang sudah tercetak perangko seharga 50 yen. Dan waktu kita beli selembar 50 yen. Tetapi jika kita salah mencetak/menulis nama, kita bisa mengembalikan/menukarkan dengan kartu pos atau perangko dengan dipotong 5 yen per lembar. Heran bener deh… Kalau di Indonesia, jika terjadi kesalahan begitu kan pasti resiko ditanggung penumpang ya? Salut deh aku sama kantor pos di sini.

Nonton Bioskop

Malem minggu aye pergi ke bioskop
Bergandengan ame pacar nonton koboi
Beli karcis tau tau keabisan
Jage gengsi kepakse beli catutan

Aduh emak enaknye nonton dua duaan
Kaye nyonye dan tuan di gedongan
Mau beli minuman kantong kosong glondangan
Malu ame tunangan kebingungan

Film abis aye kepakse nganterin
Masuk kampung jalan kaki kegelapan
Sepatu baru, baru aje dibeliin
Dasar sial pulang pulang injek gituan

Ah lagunya Benyamin emang enak ya… Biarlah saya dianggap jadul, tapi hati menjadi riang setiap dengar lagu-lagu dia. Saya punya koleksi lagu-lagunya lumayan lengkap, karena ada seorang Jepang di sini yang bilang pada saya, “Benyamin adalah musisi besar”. Karena itu setiap saya pulang ke Indonesia dulu saya pasti mencari CD Benyamin Sueb. Kadang tukaran lagu dengan Kang Duren (kemana ya dia?) jika ada lagu yang saya tidak punya atau dia tidak punya. Maklum dulu kami berdua suka jadi DJ di chatroom. Lagu favorit saya? “Perkutut” deh. heheheh

OK kali ini saya bukan mau bercerita tentang Benyamin, tapi justru lirik lagunya Benyamin yang Nonton Bioskop. Saya tahu banyak teman-teman blogger pecandu film, dan mungkin malah selalu mengagendakan nonton film di bioskop sebagai jadwal rutin, baik dengan kekasih hati atau sendiri (mana ada sih yang pergi sendiri mel hihihi). Suami saya sendiri pecandu film, tapi dia benar-benar memilih film yang agak aneh. Bukan action, lebih banyak drama, dan bervariasi antara film Jepang atau bahasa Inggris. Sayangnya …. ya sayang sekali… saya tidak suka menonton film. Menonton film bukan hobby saya. Waktu pacaran, memang saya “agak terpaksa” menonton bersama di bioskop. Meskipun ada beberapa film yang akhirnya saya sukai, seperti Ponnette yang sedih, Shall We Dansu yang riang, tapi ada yang sempat membuat saya BENCI film dan rasanya ingin lari dari gedung bioskop itu… sebuah film yang berjudul, Christ of Nanking. Sebuah film yang dibuat berdasarkan novel Akutagawa Ryunosuke th 1920, sedangkan filmnya sendiri dirilis th 1996-an.

Lalu kok tidak suka film mau cerita tentang nontong bioskop? Ya begitulah…meskipun saya tidak suka film, tapi demi sks kelulusan saya di program Master, saya harus mengambil 4 sks mata kuliah pilihan apa saja. Nah ada dua mata kuliah yang saya ambil, dan dua-duanya tidak ada hubungan dengan penelitian saya waktu itu…. dan dua-duanya ANEH. Kalau dipikir, nekat bener saya ini atau saking ngga peduli yang penting MUDAH, Tidak pakai banyak bahasa Jepang, dengan jaminan dapat nilai bagus, sehingga bisa menghias daftar nilai saya dengan huruf A. Huh tipikal mahasiswa Indonesia.

OK, mata kuliah pertama yang tidak ada hubungan dengan postingan ini adalah “Sejarah Pemikiran Barat/Eropa”…. hmmm saya pikir dengan ikut kuliah ini paling tidak saya bisa kejar ketinggalan yang tidak saya dapatkan di SMA (karena di IPA ngga belajar ginian euy). BUT aduuuuh isi kuliah itu amit-amit deh. Si professor adalah peneliti tentang Majogari, Witches …pembunuhan Nenek-nenek sihir. Dan didalam kuliah itu berbicara tentang scape goat, inisiasi dll. Hiiiiii dan itu dengan terpaksa saya ikut karena…… pesertanya cuma SATU ORANG yaitu saya sendiri. HELP!!!!!. Karena waktu orientasi saya muncul, saya merasa tidak enak kalau saya tidak muncul di kuliah pertama. Dan bad news, tidak ada orang lain yang ambil kuliah itu ….. TERPAKSA deh, setiap hari Jumat, jam pertama (jam 9 pagi) , saya nongkrong di kamar beliau, mendengarkan kuliah dan membuat resume dan membuat presentasi! Presentasi apa? Inisiasi di masyarakat Indonesia. Klutekan deh cari nara sumber…. saya sampaikan ttg potong gigi di Bali, dsb dsb (udah lupa). Dan setelah sengsara satu semester, saya bisa puas dapat A. (Kalau tidak dapat A, saya protes bener deh tuh dosen). Pfff

Yang berhubungan dengan Film ini, judul mata kuliahnya “Study Film Barat/Eropa” dan dibawakan oleh kritikus film terkenal Jepang, Umemoto Youichi (9 Januari 1953 -12 Maret 2013) yang biasa menulis di majalah-majalah. Waktu ikut orientasi, banyak orang, jadi aman…. tidak usah harus sendirian. Dan yang membuat saya putuskan ambil kuliah itu adalah ucapannya, “Kalian pasti dapat sks, asalkan setiap minggu wajib menonton satu film dari sutradara yang saya sebutkan, entah di bioskop atau di video, dan pada pertemuan berikutnya presentasikan apa yang kamu rasakan, kesan waktu menonton film itu”. Yang pasti kuliah ini MAHAL, karena jika menonton di bioskop, paling sedikit 1000-1500 yen harus dikeluarkan. Atau kalau video, satu buah video 400 yen. Hmmm biarlah saya pikir, keluarkan uang meskipun saya tidak suka menonton, untuk sesuatu yang pasti …yaitu 2 SKS. hehehehe. Karena saya, bagaimanapun punya handicap, yaitu bahasa.

wheres friends home

where’s friend’s home

Well, mata kuliah film ini masih JAUUUUH lebih mending daripada yang Sejarah pemikiran tadi. BUT, jangan harap kamu bisa menonton film semacam “Sex and the City” atau “Mamamia” deh. Nama sutradaranya saja saya baru pertama kali dengar. Yang paling bombastis mungkin adalah KIKA, yang disutradarai Pedro Almodóvar asal Spanyol yang bercerita seorang make up artis (ini bahasanya Spanyol jeh) . Lalu saya harus menonton karya -karya Jean-Luc Godard (yang memang indah meskipun terus terang saya kurang mengerti —bahasa Perancis euy), karya Spike Jonze, kemudian ada satu film dari Timur Tengah karya sutradara Iran Abbas Kiarostami, yang berjudul “Where’s Friends house”. Dan satu yang boleh dibilang paling “dimengerti” awam adalah Pulp Fiction karya Quentin Tarantino (karena ada si John Travoltanya tuh).

Ada satu “happening” dalam mengikuti kuliah ini. Suatu waktu saya absen dan tidak mengikuti kuliah. Lalu saya tanya pada teman apa tugas untuk minggu itu? Lalu dia berkata “Katteni shiagare” yang artinya saya tangkap sebagai “terserah kamu”. Ya saya pikir boleh menonton film apa saja. Eeee ternyata, ada film Godard yang berjudul begitu….. dan waktu saya jelaskan, minta maaf saya tidak menonton dengan alasan salah judul, dosen itu tertawa terbahak-bahak. (Untung dia kasihan sama saya yang orang asing satu-satunya di kelas dia hiks).

Akhirnya satu semester habis, dan saya berhasil mendapatkan nilai A juga untuk mata kuliah ini. Memang sulit bagi saya, tapi paling tidak saya bisa mengerti apa saja yang ditonton oleh orang FILM, yang pastinya bukan film-film picisan (menurut mereka) yang hanya mengejar “jumlah penonton” . Selain itu saya bisa berkenalan dengan kebudayaan lain, film Spanyol, film Perancis, film IRAN….. yang tentu saja tidak akan saya lirik sebelah mata jika saya tidak mengambil kuliah ini.

SEBUAH CERITA TENTANG KESETIAAN

Di Shibuya, Tokyo, Jepang, tepatnya di alun-alun sebelah timur Stasiun Kereta Api Shibuya, terdapat patung yang sangat termasyur. Bukan patung pahlawan ataupun patung selamat datang, melainkan patung seekor anjing. Dibuat oleh Ando Takeshi pada tahun 1935 untuk mengenang kesetiaan seekor anjing kepada tuannya.

Seorang Profesor setengah tua tinggal sendirian di Shibuya. Namanya Profesor Hidesamuro Ueno. Dia hanya ditemani seekor anjing kesayangannya, Hachiko. Begitu akrab hubungan anjing dan tuannya itu sehingga kemanapun pergi Hachiko selalu mengantar. Profesor itu setiap hari berangkat mengajar di universitas selalu menggunakan kereta api. Hachiko pun setiap hari setia menemani Profesor sampai stasiun. Di stasiun Shibuya ini Hachiko dengan setia menunggui tuannya pulang tanpa beranjak pergi sebelum sang profesor kembali.. Dan ketika Profesor Ueno kembali dari mengajar dengan kereta api, dia selalu mendapati Hachiko sudah menunggu dengan setia di stasiun. Begitu setiap hari yang dilakukan Hachiko tanpa pernah bosan.

Musim dingin di Jepang tahun ini begitu parah. Semua tertutup salju. Udara yang dingin menusuk sampai ke tulang sumsum membuat warga kebanyakan enggan ke luar rumah dan lebih memilih tinggal dekat perapian yang hangat.

Pagi itu, seperti biasa sang Profesor berangkat mengajar ke kampus. Dia seorang profesor yang sangat setia pada profesinya. Udara yang sangat dingin tidak membuatnya malas untuk menempuh jarak yang jauh menuju kampus tempat ia mengajar. Usia yang semakin senja dan tubuh yang semakin rapuh juga tidak membuat dia beralasan untuk tetap tinggal di rumah. Begitu juga Hachiko, tumpukan salju yang tebal dimana-mana tidak menyurutkan kesetiaan menemani tuannya berangkat kerja. Dengan jaket tebal dan payung yang terbuka, Profesor Ueno berangkat ke stasiun Shibuya bersama Hachiko. Tempat mengajar Profesor Ueno sebenarnya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Tapi memang sudah menjadi kesukaan dan kebiasaan Profesor untuk naik kereta setiap berangkat maupun pulang dari universitas.

Kereta api datang tepat waktu. Bunyi gemuruh disertai terompet panjang seakan sedikit menghangatkan stasiun yang penuh dengan orang-orang yang sudah menunggu itu. Seorang awak kereta yang sudah hafal dengan Profesor Ueno segera berteriak akrab ketika kereta berhenti. Ya, hampir semua pegawai stasiun maupun pegawai kereta kenal dengan Profesor Ueno dan anjingnya yang setia itu, Hachiko. Karena memang sudah bertahun-tahun dia menjadi pelanggan setia kendaraan berbahan bakar batu bara itu.

Setelah mengelus dengan kasih sayang kepada anjingnya layaknya dua orang sahabat karib, Profesor naik ke gerbong yang biasa ia tumpangi. Hachiko memandangi dari tepian balkon ke arah menghilangnya profesor dalam kereta, seakan dia ingin mengucapkan,” saya akan menunggu tuan kembali.”

” Anjing manis, jangan pergi ke mana-mana ya, jangan pernah pergi sebelum tuan kamu ini pulang!” teriak pegawai kereta setengah berkelakar.

Seakan mengerti ucapan itu, Hachiko menyambut dengan suara agak keras,”guukh!”
Tidak berapa lama petugas balkon meniup peluit panjang, pertanda kereta segera berangkat. Hachiko pun tahu arti tiupan peluit panjang itu. Makanya dia seakan-akan bersiap melepas kepergian profesor tuannya dengan gonggongan ringan. Dan didahului semburan asap yang tebal, kereta pun berangkat. Getaran yang agak keras membuat salju-salju yang menempel di dedaunan sekitar stasiun sedikit berjatuhan.

Di kampus, Profesor Ueno selain jadwal mengajar, dia juga ada tugas menyelesaikan penelitian di laboratorium. Karena itu begitu selesai mengajar di kelas, dia segera siap-siap memasuki lab untuk penelitianya. Udara yang sangat dingin di luar menerpa Profesor yang kebetulah lewat koridor kampus.

Tiba-tiba ia merasakan sesak sekali di dadanya. Seorang staf pengajar yang lain yang melihat Profesor Ueno limbung segera memapahnya ke klinik kampus. Berawal dari hal yang sederhana itu, tiba-tiba kampus jadi heboh karena Profesor Ueno pingsan. Dokter yang memeriksanya menyatakan Profesor Ueno menderita penyakit jantung, dan siang itu kambuh. Mereka berusaha menolong dan menyadarkan kembali Profesor. Namun tampaknya usaha mereka sia-sia. Profesor Ueno meninggal dunia.
Segera kerabat Profesor dihubungi. Mereka datang ke kampus dan memutuskan membawa jenazah profesor ke kampung halaman mereka, bukan kembali ke rumah Profesor di Shibuya.

Menjelang malam udara semakin dingin di stasiun Shibuya. Tapi Hachiko tetap bergeming dengan menahan udara dingin dengan perasaan gelisah. Seharusnya Profesor Ueno sudah kembali, pikirnya. Sambil mondar-mandir di sekitar balkon Hachiko mencoba mengusir kegelisahannya. Beberapa orang yang ada di stasiun merasa iba dengan kesetiaan anjing itu. Ada yang mendekat dan mencoba menghiburnya, namun tetap saja tidak bisa menghilangkan kegelisahannya.

Malam pun datang. Stasiun semakin sepi. Hachiko masih menunggu di situ. Untuk menghangatkan badannya dia meringkuk di pojokan salah satu ruang tunggu. Sambil sesekali melompat menuju balkon setiap kali ada kereta datang, mengharap tuannya ada di antara para penumpang yang datang. Tapi selalu saja ia harus kecewa, karena Profesor Ueno tidak pernah datang. Bahkan hingga esoknya, dua hari kemudian, dan berhari-hari berikutnya dia tidak pernah datang. Namun Hachiko tetap menunggu dan menunggu di stasiun itu, mengharap tuannya kembali. Tubuhnya pun mulai menjadi kurus.

Para pegawai stasiun yang kasihan melihat Hachiko dan penasaran kenapa Profesor Ueno tidak pernah kembali mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Akhirnya didapat kabar bahwa Profesor Ueno telah meninggal dunia, bahkan telah dimakamkan oleh kerabatnya.

Mereka pun berusaha memberi tahu Hachiko bahwa tuannya tak akan pernah kembali lagi dan membujuk agar dia tidak perlu menunggu terus. Tetapi anjing itu seakan tidak percaya, atau tidak peduli. Dia tetap menunggu dan menunggu tuannya di stasiun itu, seakan dia yakin bahwa tuannya pasti akan kembali. Semakin hari tubuhnya semakin kurus kering karena jarang makan.

Akhirnya tersebarlah berita tentang seekor anjing yang setia terus menunggu tuannya walaupun tuannya sudah meninggal. Warga pun banyak yang datang ingin melihatnya. Banyak yang terharu. Bahkan sebagian sempat menitikkan air matanya ketika melihat dengan mata kepala sendiri seekor anjing yang sedang meringkuk di dekat pintu masuk menunggu tuannya yang sebenarnya tidak pernah akan kembali. Mereka yang simpati itu ada yang memberi makanan, susu, bahkan selimut agar tidak kedinginan.

Selama 9 tahun lebih, dia muncul di station setiap harinya pada pukul 3 sore, saat dimana dia biasa menunggu kepulangan tuannya. Namun hari-hari itu adalah saat dirinya tersiksa karena tuannya tidak kunjung tiba. Dan di suatu pagi, seorang petugas kebersihan stasiun tergopoh-gopoh melapor kepada pegawai keamanan. Sejenak kemudian suasana menjadi ramai. Pegawai itu menemukan tubuh seekor anjing yang sudah kaku meringkuk di pojokan ruang tunggu. Anjing itu sudah menjadi mayat. Hachiko sudah mati. Kesetiaannya kepada sang tuannya pun terbawa sampai mati.

Warga yang mendengar kematian Hachiko segera berduyun-duyun ke stasiun Shibuya. Mereka umumnya sudah tahu cerita tentang kesetiaan anjing itu. Mereka ingin menghormati untuk yang terakhir kalinya. Menghormati sebuah arti kesetiaan yang kadang justru langka terjadi pada manusia.

Mereka begitu terkesan dan terharu. Untuk mengenang kesetiaan anjing itu mereka kemudian membuat sebuah patung di dekat stasiun Shibuya. Sampai sekarang taman di sekitar patung itu sering dijadikan tempat untuk membuat janji bertemu. Karena masyarakat di sana berharap ada kesetiaan seperti yang sudah dicontohkan oleh Hachiko saat mereka harus menunggu maupun janji untuk datang. Akhirnya patung Hachiko pun dijadikan symbol kesetiaan. Kesetiaan yang tulus, yang terbawa sampai mati.

Sungguh kisah yg menggugah hati….tak habis2nya saya meneteskan air mata membaca cerita hidup Hachiko….

Film ttg kisah hachiko dibuat d jepang tahun 1987 dgn judul “Hachiko Monagatari”. Film ini byk memperoleh penghargaan. ..
Dan saat ini versi hollywoodnya sedang dibuat dgn judul “Hachiko : A Dog’s Story” (Starring and Co-Producted by Richard Gere)….

Hachiko: A Dog’s Story,[9] to be released in 2008, is an American movie starring actor Richard Gere, directed by Lasse Hallström, about Hachikō and his relationship with the professor. The movie is being filmed in Rhode Island, and will also feature actresses Joan Allen and Sarah Roemer.[10]

(sumber dari milis IKAJA UI)

depan patung hachiko Shibuya,  sebagai meeting point

Depan patung Hachiko Shibuya, yang terkenal sebagai meeting point

NB: Saya heran kok Richard Gere lagi, soalnya sebuah film Jepang yang terkenal di sini “Shall We Dance” versi bahasa Inggris juga diperankan oleh Richard Gere. Saya pernah posting tentang film Shall We Dansu/Dance versi bahasa Jepang di sini