Family Outing

Sudah lama keluarga inti kami (coutriers) tidak mengadakan acara pergi bersama. Tentu saja sejak kami tercerai-berai tempat tinggalnya, kami sulit untuk bisa berkumpul dan bepergian bersama. Bepergian dalam arti bertamasya, berlibur. Aku selalu ingin mengajak mama pergi, waktu mama masih hidup, paling sedikit ke Yogyakarta dan menengok makam ibunya. Tapi kata mama, “Ah makam itu juga sudah tidak ada, sudah tidak tahu ada di mana.” Dan karena masalah kesehatan mamapun, aku tidak pernah bisa mengajak mama pergi. Terakhir kami (Papa, Mama dan 3 putri + keluarga masing-masing) pergi bersama adalah waktu kami mengadakan perjalanan ke Eropa melalui Natal dan Tahun Baru tahun 2002.

 

Family’s Journey to Germany 2002

Aku juga sebetulnya sudah merencanakan mengadakan perjalanan ke Yogya pada liburan musim panas ini, yang terpaksa kami batalkan karena mama menghadap Bapa bulan Februari lalu. Rencananya keluarga Gen dan papa-mamanya akan berlibur ke Yogya dan sepulang dari sana, mampir Jakarta, memperingati ulang tahun pernikahan ke 45 bagi Miyashita dan Coutrier. Namun tidak bisa kami laksanakan sesuai rencana. Sekali lagi kami diingatkan bahwa manusia boleh berencana tapi Tuhan yang menentukan.

Nah, pada tanggal 4-5 Agustus lalu, Papa, aku + anak-anak serta adikku Novi + keluarga, total 9 orang mengadakan outing (cukup) mendadak ke Cisarua. Rencananya Sabtu pagi-pagi kami menuju ke Taman Safari bersama Kimiyo karena dia mau mengajak anaknya ke sana, lalu bermain bersama. Sementara Kimiyo kembali ke Jakarta karena sudah ada rencana untuk hari Minggunya kami tetap di Cisarua dan menginap di hotel dekat Taman Safari yang bernama Hotel Seruni. Chris, suami Novi sering menginap di situ jika ada seminar-seminar kantornya, dan terkesan dengan besarnya hotel itu. Tapi sekali lagi manusia hanya bisa berencana, karena ternyata Ao-kun, anak Kimiyo demam sehingga terpaksa agenda ke Taman Safari dibatalkan. Kami sendiri karena sudah sering ke Taman Safari, tetap pergi ke Cisarua, tapi langsung ke hotelnya saja, dan santai di hotelnya.

 

Bermain di Cimory yang puanas terik!

HADUUUH hebohnya 9 orang mau pergi semalam aja. Aku geleng-geleng kepala lihat persiapan adikku, selimut, baju tebal, cup noodle, snack segala oreo keripik singkong dkk, susu kotak, baju ganti, dsb dsb, persis orang mau pindahan. Aku di Jepang kalau pergi semalam, paling Cuma bawa baju ganti atasan + daleman (kecuali Kai ya), semua cukup satu tas ransel yang bisa digeret. Karena makanan, minuman dsb gampang bisa beli di perjalanan, serta di hotel pasti disediakan amenities + yukata untuk tidur (jadi tidak usah bawa baju tidur). Makanya aku tertawa melihat bagasi mobil Kijang kami penuuuh sesak dengan bawaan kami.

Kami berangkat pukul 9 an, santai, karena tidak berencana ke Taman Safari. Jalanan tidak macet, lancar jaya, sesekali macet setelah keluar pintu tol karena dekat pasar. Waktu itu sudah menunjukkan pukul 12, dan kami lapar! Jadi kami bertujuan ke Cimory untuk makan siang. BUT, waktu kami sampai di sana, tertulis : “Restoran buka jam 4, Toko buka”. Kami tetap mampir, pikirnya biar anak-anak bermain. TAPI panas teriiiik. Dalam keadaan lapar dan panas, semua menjadi koro-koro (bahasa Makassar berarti kesal). Jadi kami cepat naik mobil lagi dan bermaksud mencari restoran lain, apa saja yang buka.

Hotel seruni yang kami inapi semalam. Bagus tapi…. menurutku terlalu “rame” hiasannya. Hmmm perpaduan Bali dan Perancis gimana gituuuu

TAPI TERNYATA SAUDARA-SAUDARA (terutama yang kristen), jangan berpergian tanpa makan siang di bulan puasa ke arah Puncak deh! TIDAK ADA YANG BUKA! Baik resto, kentucky, mac donald di sepanjang jalan ke Cisarua itu. Kami tidak naik sampai ke Puncak Passnya sih karena langsung berbelok masuk ke arah Taman Safari. Cukup kesal aku melihat keadaan ini, karena aku pikir, bagaimana jika aku membawa turis asing saat itu? Untung saja Kimiyo tidak jadi ikut. Seharusnya ormas yang melarang pembukaan (kabarnya resto ini takut disweeping ormas tertentu) berpikir dong bahwa arah situ merupakan tujuan wisata juga. Bagaimana mau memajukan pariwisata kalau begini. Tapi sudahlah, aku hanya bisa cuap-cuap lewat status BB, yang ditanggapi teman baikku, Ika. Dia sampai menulis, “Udah mel, kamu ke Indomart, beli cup noodle apa kek, buat anak-anak supaya jangan kelaparan”. Kujawab, “Aku tidak mau makan cup noodle waktu tamasya! Maunya makan enak kok.” Dan dijawab, “WELCOME TO INDONESIA MEL!” hahahaha. Ika, ika, i will miss you when I’m back to Japan. Semoga…semoga BB ku masih bisa dipakai di Jepang 😀 sehingga kita berdua bisa “mendiskusikan” Indonesia KITA!

JADI, aku harus mencabut tawaku tadi yang menertawakan persiapan adikku membawa cup noodle segala kan?

Sebagai solusi, kami langsung saja pergi ke Hotel Seruni, untuk cek in. DAN, kabar gembira! Restoran BUKA 24 jam!!! Muachh deh pengen aku cium tuh orang-orang hotel semua 😀 Jadi, satu alternatif bagi wisatawan non muslim, kalau mencari lunch di bulan puasa, PERGILAH KE HOTEL!

interior dan pemandangan dari kamarku yang di lantai 3

Jadi deh bersembilan masuk restoran yang amat luas, dan pesan makanan. KALAP 😀 Makanannya cukup enak loh. Ada Nasi Bali, Chicken Cordon Blue, Gado-gado dan spaghetti. Sayangnya spaghetti meat sauce pesanan Riku lamaaaa sekali baru datang, padahal spaghetti carbonaranya yang pertama datang 😀 Kasihan Riku musti menunggu lama…. “Dagingnya masih dibeli di pasar, dipotong, digiling, dibuat saus… jadinya lama Riku” 😀 Setelah makan, kami masuk kamar, dan anak-anak pergi berenang.

Boleh dikatakan kami hanya menghabiskan waktu di kamar dan di kolam renang. Tapi aku sempat beberapa kali di tengah malam keluar ke Restoran dan menggunakan internet (wifi) di sana. Soalnya di kamar tidak ada wifinya. Aku sempat mengirimkan nilai mahasiswa dan update posting TE dari sana.

berenang dan menikmati pemandangan alam. opa juga enjoy tuh

Minggunya kami keluar Hotel itu pukul 2 siang menuju Jakarta. Masih berharap Cimory buka karena mendengar desas-desus buka, tapi ternyata tidak buka. Kami langsung menuju Jakarta melewati jalan yang lancar jaya. Bulan Puasa memang surga di jalanan ke/dari Puncak…sepiiiiii. Tapi ya itu dia, jangan berharap dapat makan 😀

Kami sampai di Kebayoran Baru pukul 3 siang, dan masuk restoran Mandala di dekat pasar Santa. Aku baru pertama kali masuk restoran ini. Sebuah restoran yang kecil, khas chinese, tapi begitu ramai. Waktu kami datang, kami masih harus berdiri nunggu giliran meja kosong. Kami tetap tunggu sampai ada meja kosong, dan penantian kami terbalaskan oleh masakan yang enak-enak. Seperti kata Dodo, temanku, Sup Tahu Seafoodnya nomor satu!

 

Restoran yang sudah ada sejak aku kecil, namun aku baru pertama kalinya ke sini. Biasanya ke restoran saudaranya (Mandala Baru) di Mayestik. Sup Tahunya memang enak.

Akhir pekan dengan family outing yang singkat, tapi padat dengan pengalaman.

Panik

Duuuh rasanya kangeeeen sekali untuk menulis. Bayangin posting terakhir tanggal 11, sedangkan sekarang sudah tanggal 17! Aduuuuhhhh…… Tapi apa daya waktunya memang tidak ada. Karena bagi kalian yang tinggal di Indonesia hari ini libur kan? Tapi karena di sini tidak libur,  aku tetap harus bekerja dong deh sih!  Dan sebetulnya ada banyak hal yang ingin kutulis saat ini, termasuk ulang tahun Mama tanggal 12 Mei kemarin. Tapi ya gitu deh, kalau mau menulis tentang mama, masih tersendat oleh turunnya air mata sehingga perlu waktu yang cukup banyak. Jadi tulisan instant ini pendek saja, hanya ingin menuliskan “kepanikan” ku yang baru-baru saja terjadi.

Sesudah pulang mengajar minggu lalu, aku cepat-cepat pulang ke rumah dengan maksud menaruh belanjaan dulu sebelum menjemput Kai di TK nya jam 5 sore. Sudah beberapa bulan ini, aku tidak memakai tas ransel, karena ternyata punggungku sering sakit gara-gara ransel itu. Jadi aku sekarang memakai tas jinjing a.l.a dosen (lah emang dosen kok hahaha) untuk memasukkan buku dsb dsb. Tas wanita itu berwarna hitam dengan dua kantong di bagian dalam. Nah, di depan pintu apartemenku, aku hendak mengambil kunci rumah, yang biasanya aku masukkan ke kantong bagian dalam itu. Tapi…… TIDAK ADA! Duhhh aku panik sekali saat itu, aku jatuhkan di mana kunci itu? Apa mungkin jatuh dari tas yang kutaruh di keranjang sepeda? Atau aku lupa masukkan ke dalam tas, lalu taruh di kantong celana panjang, dan jatuh waktu aku mengayuh sepeda? Macam-macam pikiranku saat itu.

Tenang melll…. tenang. Aku taruh belanjaan dan tas di lantai, lalu aku mulai mengeluarkan semua isi tas. Satu per satu, siapa tahu terselip di sela buku dan kertas. Tapi… tidak ada. Hmm, aku sih bisa menjemput Kai dulu, lalu menunggu Riku pulang, karena Riku punya kuncinya sendiri. Tapi masa sih tidak ada?

Nah saat itu aku teringat, dulu pernah kejadian dengan tas wanita yang lain, kunciku juga hilang. Dan ternyata kantong bagian dalam tas itu berlubang, sehingga kuncinya jatuh ke dasar tas, di antara lapisan kain dan kulit luar. Dan kunci itu bisa ditemukan jika aku rogoh lewat lubang yang ada sampai ke dasar tas. Mungkin kejadian itu terulang kembali? Jadi deh, aku mulai mencari lubang di kantong bagian dalam tas, dan ternyata KETEMU lubangnya, kecil sehingga aku cuma bisa memasukkan dia jari saja. Jadilah aku merogoh-rogoh bagian  dasar tas, dan …… taraaaa… ADA kuncinya. Ketemu. Huh… rasanya lega tapi capeeeek sekali deh.

Itu panik pertama, nah panik kedua terjadi pada hari Senin, pukul 1 siang. Jadi ceritanya aku ada pekerjaan terjemahan 2 halaman saja, yang kuperkirakan bisa selesai dalam 2-3 jam. Tapi karena permintaan terjemahan itu datangnya hari Jumat, maka aku janjikan akan selesai jam 12 siang hari Senin. Tapi Sabtu dan Minggu aku sibuk urusan gereja, dan Senin paginya aku bahkan sempat tidur siang dengan santainya selama 2 jam dari jam 10 sampai jam 12. Begitu bangun, aku pergi belanja deh, sebelum menjemput Kai jam 2 siang. Tahu-tahu waktu aku sedang belanja (jam 1) ada telepon masuk yang aku tidak dengar. Jadi waktu aku lihat di missed callnya, aku lihat si penelepon adalah orang yang minta terjemahan itu. Dan aku baru sadar… LOH AKU ADA KERJAAN ITU!  “$%%(&()&)’

Mampus deh hehehe. Langsung aku telepon temanku itu, dan minta waktu 2jam saja untuk mengerjakan. Untung saja dia memang sudah membuat waktu luang yang cukup banyak untuk memperbaiki lay-out dsb, jadi meskipun aku terlambat 2 jam tidak menjadi soal, dan dia akan tunggu. Jadi deh aku ngebut menyelesaikan tugas itu, dan memang hanya butuh 1,5 jam saja. Langsung aku kirim email mohon maaf dan hasil terjemahannya. Duuuh, jangan sampai deh kejadian gitu lagi. Panik bener. Untung cuma sedikit, coba kalau banyak kan aku harus tunda penyerahan lebih lama lagi, dan itu berarti mencoreng kredibilitas kerjaku kan? Kalau kata orang Jepang, “Kepalaku menjadi putih! atama masshironinatta. 頭真っ白になった”, maksudnya blank isi kepalanya karena panik. 😀

Jadi kurang dalam seminggu aku mengalami “kepala putih” sudah dua kali… Apakah itu bukti aku sudah menjadi tua a.k.a menua (ya emang kenyataan juga sih hihihi) ? rouka genshou 老化現象?

Semoga teman-teman tidak mengalami panik-panik sepertiku ini ya…. Menyebalkan sekali loh kondisi ini 😀

Aku tutup posting hari ini dengan mengucapkan selamat libur panjang buat yang besok libur atau meliburkan diri :D, dan semoga aku bisa menemukan celah-celah waktu untuk menulis apa yang tertunda selama ini. (Mohon maaf aku juga belum bisa BW maksimal… Nanti dirapel yaaaaa)

Mereka Melihat dan Mendengar

Pernah ada seorang temanku menulis begini, “Hai orang tua, bagaimana kalian bisa mengharapkan anak-anakmu patuh pada peraturan, jika kalian sendiri membonceng mereka naik motor tanpa helm dan surat-surat lengkap?”. Langsung aku klik tombol LIKE.Memang benar begitu kok.

Ya memang, aku pun sering menuliskan bahwa anak-anak itu melihat tindakan kita para orang tua. Mereka akan melihat tindakan kita dan menirunya. Bagaimana kita bisa mengharapkan anak-anak tidak akan menerobos lampu merah jika kita sendiri masih menerobos lampu merah?

Di dekat rumahku ada jalan kecil dengan lampu lalin. Jarang sekali mobil lewat jalan itu sehingga banyak orang hanya melihat apakah mobil datang atau tidak, lalu kalau tidak melihat ada mobil datang, langsung menyeberang. Memang jalan itu satu arah! Tapi aku selalu berhenti di situ, dan meskipun lampu merah dan tidak ada mobil yang lewat pun aku tetap berhenti. Untuk itu aku tegas. Pernah aku pulang dari sekolah bersama Riku melewati jalan itu.  Waktu Riku TK dan aku sedang hamil. Riku “nyelonong” begitu saja di jalan itu. Aku langsung memarahi dia, karena benar-benar bahaya. Ada mobil lewat persis dia nyebrang. Duh…. Sudah diajarkan yang benar saja, Riku masih mau “melanggar” peraturan. Bagaimana kalau aku slengekan dan melanggar lampu merah karena berpikir toh tidak ada mobil lewat? Sampai sekarang pun meskipun aku tidak bersama anak-anak aku tetap berhenti di jalan itu waktu lampu merah dan tidak ada mobil. Karena semua itu adalah kebiasaan.

Sampai pada suatu saat aku dan Kai pergi ke Kichijoji (daerah pertokoan) dan sedang menunggu lampu merah. Banyak orang, dan tiba-tiba ada seorang ibu-ibu yang mungkin terburu-buru, menyeberang begitu saja. Memang tidak ada mobil lewat, tapi semua orang yang ada di situ melihat ke arah ibu itu. Aku pun melihat beberapa tatap mata ke arah Kai. Aku bersyukur Kai tidak berkata keras-keras, “Mama, ibu itu kan salah ya…kan lampu merah!”. Tapi begitu kami bisa menyeberang waktu lampu berganti hijau, aku langsung berbicara pada Kai, “Kai, tadi ada ibu yang menyeberang waktu lampu merah kan? Itu tidak bagus, jadi Kai jangan begitu ya”. Sebanyak-banyaknya aku berusaha memberikan input pada anak-anakku.

Ada peristiwa yang lucu juga terjadi. Aku sering menegur Kai kalau dia makan dengan tangan, bukan pakai sumpit atau sendok. Di penitipannya pun mereka mengajarkan anak-anak balita ini untuk berusaha memakai sendok dan sumpit. Nah, suatu kali aku makan nasi dan ikan ala Indonesia. Tentu saja pakai tanganl dong. Dan saat itu Kai berkata, “Mama kok makan pakai tangan? Kan ngga boleh makan pakai tangan!” Aku tertegun, dan berkata, “Iya Kai… mama makan pakai tangan karena ini masakan Indonesia. Ikan ini banyak tulangnya, jadi kalau pakai sendok atau sumpit, susah ketahuannya. ”

Mereka melihat….. dan mendengar. Tadi aku benar-benar kaget pada jawaban Kai, karena dia bisa mengulang sebuah perkataan yang aku tahu tidak sering aku ucapkan.

Jadi ceritanya kemarin malam, Riku bertanya pada kami arti dari Ran ran ru. Karena temannya berkata begitu padanya, dan dia tidak tahu artinya. Dia hanya tahu kata itu sepertinya mempunyai arti negatif. Kami sendiri tidak tahu, dan aku mencari di internet artinya apa. Dan terkejut mendapatkan kenyataan, bahwa kata Ran ran ru itu merupakan kata baru yang populer di kalangan anak SD sekarang, dan berarti “Shine shine (bukan bahasa Inggris loh), kiero” (Mati lu, mati lu, enyahlah)….

Wah benar-benar kata yang provokatif dan jelek sekali. Jadi Riku pun bertambah sedih dikatakan begitu. Tapi aku katakan, “Biarkan saja teman-teman kamu bicara seperti itu, yang penting Riku jangan. Dan Riku tak perlu kecil hati. Jangan berteman saja dengan dia. Dia sendiri mungkin tidak tahu arti sebenarnya dari Ran ran ru itu, atau meskipun tahu hanya mau bercanda saja.” Yang parahnya suamiku malah bilang pada Riku, “Kalau kamu dikata-katai Ran ran ru, kamu bilang saja “Mampus lu” (bahasa Indonesia). Nanti kan dia bingung kamu bicara apa. Lalu senyum-senyum aja, jangan kasih tahu. Dia tambah sebel deh”… haiyah…

Nah, tadi di dalam mobil, tiba-tiba Riku bertanya pada Kai, “Kai kamu tahu Ran ran ru itu apa?”
“Tahu dong”
Aku yang sedang menyetir saja masih mencoba mengingat-ingat apa ya artinya, waktu Kai dengan tegasnya berkata,
“Shine shine kiero!” ………duaaaarrrr.………..
“Kai! Kamu tahu dari mana?”
“Tahu dari sekolahnya Riku”
“Bohong! ” (Wong dia seharian ada di rumah denganku)
Lalu Riku berkata, “Pasti Kai dengar waktu mama bicara kemarin”

………. Padahal aku bicara pada papanya. Dan arti itu pun aku cuma katakan paling dua kali. Tapi aku tidak sadar bahwa ada telinga kecil yang mendengarkan, dan mengetahui bahwa kata itu buruk…dan mengingatnya. Bahaya!

Susah ya jadi orang tua…. sama saja dengan komentar dari Nique di postingan saya yang Aduh Mama Bodoh, yang menulis:

saya jadi sedih klo mbaca ini?
soalnya di warnet hampir setiap jam mendengar umpatan ‘bego’ ‘tolol’ ‘bodoh’ ‘idiot’ yang keluar dari mulut anak2 yang bermain game. Sudah saya coba agar mereka tidak mengucapkan itu dengan memberi reward, ga mempan, pake marah2 lebih ga mempan lagi.

Dan aku jawab dengan,” Memang jangan membolehkan anak-anak mengumpat dengan kata kasar begitu. Tapi jika ortunya sendirinya mengumpat dengan kata-kata begitu? Anak kan meniru…..”

Ya, mereka (anak-anak) adalah manusia yang punya otak dan hati, dan dalam proses belajar apa saja dalam kehidupan ini. Mereka bisa melihat dan mendengar. Kita sebagai orang tua harus hati-hati, karena tindakan mereka adalah cermin tindakan orang tua juga. Menjadi orang tua itu memang berat ….

Maaf, postingan kali ini curhatan ibu-ibu.

 

Rindu

Ah, tidak biasanya aku malas begini untuk menulis. Memang benar aku hanya punya sedikit waktu  senggang untuk duduk tenang menulis karena justru di akhir pekan mulai Kamis sampai Senin aku sibuk kerja juga di luar. Tapi dulu biasanya masih bisa menemukan celah-celah waktu untuk menulis di TE. Mau tau sebabnya?

Rindu! Homesick! Satu kata itu saja bisa membuat hidupku jungkir balik. Semakin tua semakin merasakan betapa persahabatan dan persaudaraan itu penting sekali. Karena kita tidak tahu apakah besok masih bisa bertemu atau tidak…..

Sewaktu masih single, aku memang selalu sibuk. Sibuk bekerja….dan sibuk bermain. Yang teringat hanya dua kali aku menangis sesegukan, waktu hari ulang tahun pernikahan mama-papa yang ke 25, aku tak bisa hadir. Yang kedua waktu ulang tahun pertama kali di Jepang. Sesudah itu… biasa saja. Rindu memang, tapi masih bisa ditahan. Karena aku masih bisa bermain di luar dengan teman-teman. Tapi sekarang? Kondisinya sudah berbeda. Rasa rindu itu tidak bisa ditahan lagi…. Sampai hampir panik  😦

Sampai aku menuliskan ini sebagai status di FB ku:

Menguatkan hati setiap memutar CD Natal… Karena setiap lagu selalu membuatku menangis rindu kalian. Seisi rumah jkt.  Cos I (wont) be home for christmas…..

Memang aku menghindari memasang lagu Natal. Karena setiap lagu yang mengalun membuatku menangis. Sesudah 18 tahun di Jepang, baru saat ini kerinduan mencapai puncaknya. Atau…karena sudah terlalu lama?  Dan sudah menua?

Waktu masih belajar sebagai mahasiswa, aku tidak merasa rindu, karena mempunyai tugas belajar. Tidak ada waktu untuk duduk diam, dan memikirkan kenangan-kenangan. Tapi sekarang setelah berkeluarga, setiap tindakan yang kulakukan dengan anak-anak, mengingatkanku pada masa kecil, membandingkan perbuatanku dengan perbuatan mama/orang tua terhadapku. Dan tak henti-hentinya berpikir, “Mereka hebat…bisa membesarkan kami sampai sekarang. Apakah aku bisa seperti mereka dan membesarkan Riku dan Kai tanpa kekurangan apa-apa…seperti dulu aku?”

Dan sebagai komentar dari tulisanku di FB itu, aku mendapat banyak dukungan dari teman-teman…. dan adik-adikku.

FNC : Missing you too dear….Kita sering2 skype aja ya…? Riku sama Kai baik2 aja khan? Kebayang deh si Riku yang perasa.. pasti juga kangen sama Opa..
Hugging you all…

LMC : Mel, peluk ciumnya titip gw aja. Tinggal bilang mau brapa lama. 🙂
Nanti pinjem komputernya Novi deh buat skype-an pake video-cam. OK? Ato malah jadi tambah kangen?…. (she knows the answer… I’ll be more homesick! tambah kangen)

Dan yang membuatku tambah menangis adalah tulisan dari papaku. Dia jarang buka FB, tapi karena aku memang tag ke dia, dia buka FB dan menulis seperti ini:

Paul Coutrier : Kalau bicara rindu sih, kami selalu rindu pada anak-anak dan cucu-cucu. Bahkan akan mereka yang ada di Indonesia. Tapi itulah SALAH SATU bumbu untuk tetap menyayangi kalian semua.  Sama saja waktu kalian kecil dan di rumah, sering bertengkar, tapi begitu pergi saling mencari. Sekali lagi RINDU itu pendorong untuk saling menyayangi dan mendorong kita untuk saling mendoakan. Keluargamu sekarang sama pentingnya dengan orang tua dan teman-teman lama di Jakarta. Lagi pula teman-teman itu juga sudah menjadi lebih berumur dengan tanggung jawab keluarga khas masing-masing, mungkin tidak ada waktu lagi seperti waktu di sekolah. HOME IS WHERE YOUR HEART IS. Rajin-rajin tabung aja lagi supaya bisa berlibur sekeluarga ke Jakarta.

Saya pernah rindu akan teman-teman sekolah saya di Makasar karena keakraban kami dahulu. Maka waktu berkesempatan “pulang” saya coba cari mereka. Ternyata semua sudah jadi Opa-opa dan Oma-oma yang sibuk sendiri dengan perjuangan hidupnya. Hidup itu tumbuh dan berkembang. God wants us to enjoy and rejoice.

Ya, meskipun sulit untuk bergembira dalam keadaan homesick begini, aku akan terus berusaha menikmatinya. To Enjoy and Rejoice seperti kata papa. Terima kasih ya papa… untuk nasehat itu.

Semoga teman-teman yang sedang merindu juga bisa menikmati hidup ini dan bergembira.

Sambil terisak aku tetap bernyanyi:

I’m dreaming tonight of a place I love
Even more than I usually do
And although I know
It’s a long road back
I promise you…

I’ll be home for Christmas
You can count on me
Please have snow and mistletoe
And presents under the tree

Christmas eve will find me
Where the love light gleams
I’ll be home for Christmas
If only in my dreams

Christmas eve will find me
Where the love light gleams
I’ll be home for Christmas
If only in my dreams


Bukan siapa-siapa?

Kalau dia bukan siapa-siapamu, kenapa kau memikirkannya? Kenapa kau menangisinya? Sampai tiga hari air mata mengalir setiap teringat padanya, dan tertundalah tulisan ini yang semestinya aku publish hari Sabtu lalu, sebagai persembahanku padanya.

Aku dan dia terpaut hampir 50 tahun! Kupanggil dia Oma Poel. Dia bekerja di kantor yang sama dengan papa dan mamaku dulu, di BPM, cikal bakal Pertamina sekarang. Dan kami tinggal di sebuah kompleks milik perusahaan minyak itu. Rumahnya persis di belakang rumahku. Berbentuk town house, kami share halaman belakang yang sama, yang dipakai untuk menjemur pakaian.

Aku si Barendtje Donderkop, di halaman tempat jemuran yang memisahkan rumah kami.

Waktu kulahir, dia ikut gembira menyambutku. Dan menyambut gembira setiap aku yang masih balita “menyeberang” ke rumahnya. Aku diberikan julukan khusus olehnya, Barendtje donderkop…. kepala botak yang kerjanya mondar-mandir.

Terkadang dia mengajakku pergi ke rumah temannya. Dan katanya aku selalu bersikap manis, tidak nakal, mau dengar-dengaran …pokoknya tidak memalukannya. Bahkan ceritanya yang terakhir, aku sempat tertidur lelap di rumah temannya itu, begitu enak tidurku, sehingga temannya berkata, “Sepuluh anak seperti begini, aku juga mau jaganya”

Yang pasti tangannya banyak menghasilkan baju-baju untukku. Sejak aku kecil, sampai aku SMP dia selalu menjahitkan bajuku. Sampai dia menyerah dan mengatakan “silakan beli saja”, kecuali untuk  seragam sekolah SMAku.

Dia juga yang membantu membuat kebiasaan keluarga kami untuk selalu mengikuti misa di gereja setiap hari ulang tahun anggota keluarga, lengkap atau tidak lengkap. Baik yang ulang tahun hadir, atau tidak.

Dia pula yang menangisi aku waktu aku bisa melampaui masa krisis pasca operasi usus buntu waktu aku berumur 13 tahun…….. Dia ada di setiap hari-hari besarku, kecuali waktu aku menikah. Ya, aku telah membuatnya kecewa tidak bisa membantu mempersiapkan misa dan lagu untuk misa pernikahanku karena dilaksanakan di Tokyo. Dia juga sudah terlalu tua untuk datang ke sini.

Dia bergembira karena anak pertamaku lahir persis seminggu setelah hari ulang tahunnya. Dan dengan bangganya menggendong Riku waktu ulang tahun pertamanya dirayakan di Jakarta. Ah… itu sudah 7 tahun yang lalu.

Bersama Riku meniup ke ultah dengan lilin 82 - 1 karena beda seminggu saja HUT nya

Tapi tanggal 19 Agustus 2010 yang lalu,  dia masih menyempatkan datang ke rumah di Jakarta khusus untuk bertemu denganku, sebelum kepulanganku ke Tokyo tanggal 22 Agustus. Saat itu dia berpesan padaku ada dua hal:
1. “Imelda kalau mau kasih uang pada Oma. Jangan ketahuan yang lain ya…. Nanti mereka tahu aku ada uang. Aku yang musti bayar taxinya.” Sambil tersenyum-senyum aku jawab saja, “Iya oma…..” karena dia berbicara dengan suara keras, di depan semua orang. Bagaimana bisa tidak ketahuan orang lain coba? Dan dalam hati aku bertekad, memberikan uang padanya, dan uang taxi pada tante yang turut serta.
2. “Imelda…kamu jaga badan kamu! Sudah bagus begini. Jangan lebih gendut dari sekarang ya… ” Dan aku cuma tertawa… “Iya oma….” sambil peluk dan cium pipinya yang keriput. Ah….aku ingat 4 tahun yang lalu dia masih berpesan padaku untuk “membuat” adik untuk Riku, untung tahun ini dia tidak berkata…bikin cucu perempuan dong….hehehe.

Dan hari itu aku bertanya padanya, “Oma mau makan apa?” Dia dulu suka kalau aku buatkan onabe, rebusan segala macam ikan, daging, sayuran. Tapi kali ini dia minta sate ayam (sebetulnya sudah dia katakan pada kedatangan sebelumnya tanggal 2 Agustus). Jadi aku dan mama menyuruh asisten RT beli sate ayam depan RSPP untuk makan siang, dan minta dipisah bumbu kacangnya. Dia tidak boleh makan bumbu kacang, karena maagnya tidak bisa terima lagi.

Dan aku juga terharu pada mamaku. Saat itu dia menyiapkan bubur untuk oma Poel. Aku tidak tahu bahwa Oma sudah tidak bisa lagi makan nasi. Mama bersikeras masak bubur, dan menggorengkan ikan bandeng untuk Oma. Jadi siang itu oma makan bubur + sate ayam yang tanpa saus kacang + ikan bandeng goreng yang aku suwir-suwir untuknya (and ikan itu enaaak sekali, karena aku sempat mencicipnya). Senang sekali melihat dia makan banyak, meskipun tante Ina, keponakannya yang mengantar agak mengomel….. “Nanti kalau kebanyakan maag nya sakit lagi…”

Aku dan mama mungkin sudah merasa, bahwa kami harus memenuhi permintaan Oma Poel. Mama termasuk peka terhadap hal-hal begitu. Kami berempat makan bersama di meja makan, sambil aku menahan tangis. Dia berulang kali mengatakan, “Imelda terima kasih makanannya enak sekali. Ini makanan yang terenak selama ini”. Duhhhh…. makanan yang “biasa” saja untuk kami yang muda dan sehat, tetapi istimewa untuknya. Yang memang tidak bisa lagi makan yang lebih enak atau lebih mahal….meskipun sudah kutanya mau apa. Apa saja akan kubelikan, seberapapun mahalnya. Tapi yang dia minta hanya sesuatu yang sederhana…. Sate Ayam. Ah betapa aku sering tidak bersyukur bahwa aku masih bisa menikmati semua masakan. Aku tidak ada larangan makan ini itu, karena tidak punya penyakit yang menahun misalnya. Apa saja masih bisa, meskipun aku tahu di kepulanganku tahun ini, aku tidak selera makan sama sekali. Selain (mencari) sate padang, tidak ada keinginanku untuk makan sesuatu yang lain. Kemana wishlist aku? (Dan waktu kubicarakan pada Gen, kami berdua sepakat bahwa kami sudah TUA….. tidak /sudah jarang ingin makan ini itu)

Sebelum Oma pulang ke rumahnya di Ciater naik taxi, aku sempat memergokinya duduk sendirian di sofa depan patung Maria di ruang tamu kami. Dia “ngoceh” tidak jelas, dan aku tahu dia berdoa, sambil bernyanyi, tapi tidak jelas di telingaku. Aku menjadi sedih lagi, seorang yang sudah tua, sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Sudah “terbuang” dari percakapan orang muda…. mungkin hanya bisa bicara sendiri. Dan untungnya iman Oma yang kuat membawanya pada berdoa dan bernyanyi. Sering kita melihat orang tua yang sering berbicara sendiri, dan mungkin anak-anak menganggap orang gila…. tapi bukannya itu ekspresi hati mereka? Ah … aku ingin duduk di sebelahnya dan mendengarnya bercerita, tapi kali ini dia tidak suka bercerita. Dia hanya menyuruh aku melihat buku album fotonya….

Ya album foto itu dia bawa setiap kali datang ke rumahku. Dan aku HARUS melihat album foto itu, yang sebetulnya isinya adalah foto-foto kami. Foto aku, gen, riku, kai, papa mama, novi, tina semua keluarga di Jakarta. Ah…kenapa aku tidak mengerti saat itu apa yang ingin dia sampaikan ya? Dia mungkin hanya ingin mengatakan, “Lihatlah  foto-foto ini yang selalu menghibur aku di kala malam. Di kala aku rindu kalian…..”

Benarkah aku tidak mengerti?

Tidak… aku sudah merasa. Aku tahu dan dia tahu. Bahwa waktunya sudah tidak ada lagi. Sudah cukup. Tapi dia tidak sedih, tidak menangis. Dan aku … berusaha tidak menangis di depan dia. Beberapa kali aku harus membuang muka dan menahan tangisku. Hanya saat terakhir aku mengantarnya ke dalam taxi. Aku memeluk dia erat-erat… tanpa suara…tanpa pesan…. tanpa kata-kata, “sampai tahun depan ya”…

Sampai hari Jumat lalu, tgl 3 September. Seharian aku merasa sedih. Sempat bercakap dengan Ria dan Kika lewat YM, dan aku juga sempat berkata pada mereka bahwa aku sedih. Ntah apa tapi perasaanku tidak enak. Sampai puncaknya aku menangis waktu melihat tayangan malam di televisi, mengenai gereja-gereja di Nagasaki. Ah, aku rindu aktif kegiatan gereja lagi. Mungkin sudah saatnya aku memulainya.

Aku tertidur setelah mendongengkan Kai dan Riku. Tiba-tiba pukul 2 pagi aku terbangun. Dan seperti biasanya aku melihat email lewat HP. Dan saat itu aku melihat pesan dari Novi adikku di FB 3 jam sebelumnya, bahwa Oma Poel kritis di RSPP. Aku langsung terbangun dan menyalakan komputer. Terlambat! Oma Poel sudah meninggal pukul 9:30 malam (11:30 waktu Jepang).

Ah, Oma…. kamu tetap kuat sampai terakhir, masih bisa jalan sendiri. Tapi badan manusia memang ada akhirnya. Setelah pendengaran yang melemah bertahun yang lalu, Maag-mu sudah tidak bisa bekerja menerima makanan. Karenanya kamu dirawat di RSPP sejak kamisnya. Dan menurut cerita papa, papa dan mama masih sempat bertemu kamu Kamis itu dan berdoa bersama. Papa sempat membisikkan: “Jangan takut!” dan kamu sempat berkata, paling senang dikunjungi keluarga kami.

Oma Poel memang tidak ada hubungan darah dengan kami. Dia juga tidak menikah. Dan entah dia pernah cerita atau tidak kepada orang lain, tapi dia pernah bercerita padaku alasannya tidak menikah. Kekasihnya tidak kembali waktu perang …mungkin waktu perang dengan Jepang, aku tidak berani tanya lebih jauh. Cintanya tidak tergantikan. Ah, betapa murni cintanya itu. Dan dia mempersembahkan hidupnya untuk membantu kegiatan gereja terutama setelah pensiun dari pertamina. Lebih dari 30 tahun yang lalu, bersama kepala sekolah SMA Tarakanita, memimpin paduan suara CAVIDO (Cantent in Viis Domine) , yang terdiri dari pemuda pemudi Katolik yang bersekolah di Tarki dan PL. Terus berdiri memimpin setiap minggu, dan mempersiapkan partitur lagu yang akan dinyanyikan dalam misa. Sudah berapa orang “lulusan” Cavido ini, tidak ada yang pernah menghitung. Aku, Novi, dan Tina juga termasuk dalam paduan suara itu…setidaknya sampai aku pergi ke Jepang.

Dan pada misa requiemnya, yang dilaksanakan hari Sabtu lalu begitu banyak anak Cavido yang berkumpul dan mendoakan kepergian Oma. Oma tidak mempunyai anak kandung, tapi Oma adalah Tante/Oma kita semua. Oma diantar ke peristirahatan terakhir dalam suasana sederhana dan khidmat. Tapi kami semua tahu, doa dan hati kami semua selalu untuk Oma…. Oma kami…. Tante/Oma Pauline Fernandes.

Benarkah kamu bukan siapa-siapa?

Kamu adalah seorang wanita yang kuat dan menjadi teladan kami semua. Bagi kami, kamu bukan hanya pemimpin koor, bukan hanya tetangga, bukan hanya teman kerja, bukan hanya umat paroki, bukan hanya seorang kenalan! Kamu adalah oma kami semua, dan yang pasti Oma Poel akan selalu ada dalam hatiku. Maafkan cucumu ini yang sering tak berkabar, yang sering menggodamu, becanda dan berkelakar. Tolong doakan kami semua yang masih ada di dunia sini ya Oma. Anak-anak Cavido hanya bisa mengantarmu dengan lagu-lagu yang engkau senangi waktu pemakaman. Semoga Oma disambut di sana dengan paduan suara yang indah, seindah hidupmu selama 89 tahun ini.

Dan aku hanya bisa bergumam, sambil berdoa rosarioku. Lagu kesayangan kita berdua: Di kebun (In the Garden, Jim Reeves etc)

Aku berjalan di kebun
waktu mawar masih berembun
dan kudengar lembut suara
Tuhan Yesus memanggil

Dan berjalan aku dengan Dia
dan berbisik di telingaku
bahwa Aku adalah milikNya
Itu saat bahagia….

Sampai Jumpa Oma Poel Fernandes (18 Februari 1921 – 3 September 2010).

I love you…..

Sayaaaaaaang sekali…..

.

.

. terima kasih atas “dorongan” Liona Lee untuk menuliskan posting ini secepatnya. Semoga bisa mengusir rasa bete kamu ya…

Swirl, Tumble and Squish

Sebetulnya cuma mau menulis grumble, misuh-misuh, tentang perasaan hati sejak kemarin sampai saat tulisan ini diterbitkan. Mau nulis judul Mixed Feeling, lah kok seperti mixed juice aja feelingnya bisa dicampur aduk begitu? Lalu timbul kata swirl di otakku dan waktu membuka google dan kamus untuk meyakinkan pengertianku dengan definisi sebenarnya, bertemu juga dengan kata tumble dan squish. Ya sudah aku pakai saja sebagai judul deh.

Tulisan ini benar-benar sampah jadi sambil lalu aja bacanya ya hehehe. Swirl adalah berputar bercampur ke arah horisontal, sedangkan tumble ke arah vertikal. Perasaanku sedang campur aduk ngga keruan. Itu saja intinya.

Kemarin aku mantengin komentator di TE karena tidak mau terlewatkan moment siapa yang menjadi komentator ke 12345. Menjelang aku harus siap-siap untuk pergi mengajar malam, tiba-tiba TE kebanjiran komentar dari Eka. Dia selama ini memang sering mengeluh padaku kalau koneksinya jelek, disamping sibuk sebagai PNS baru, jadi jarang datang ke TE. sekalinya ada waktu ya diborong semua gitu. Jadi kemarin dia menulis komentar bertubi-tubi deh. Aku sudah pikir pasti dia yang menjadi nomor ke 12345.

Eh, tiba-tiba si Henny, sahabatku dari Lubuk Linggau itu muncul, dan menuliskan komentar 3 buah! Jadi pada suatu ketika kala aku reload lagi dashboardku, sudah 12346, dan yang sebenarnya mendapat 12345 adalah Henny. 12346nya Eka. TAPI, akhirnya aku menentukan keduanya menjadi 12345, karena aku telah membuat satu kesalahan yaitu memberikan komentar di komentar bu Enny. Sehingga nomornya berlebih satu. Jika diperhatikan aku hampir tidak pernah menjawab komentar dengan login sendiri, sehingga bisa mengetahui seluruh jumlah komentar, murni dari pembaca TE. Terima kasih pada Henny dan Eka yang sudah meramaikan Twilight Express.

akhirnya yang ditunggu datang juga.. angka cantik! komentator ke 12345, sesudah ini tidak ada lagi angka yang aku tunggu

Setelah lega bisa membuat capture komentator ke 12345, aku pergi menjemput Kai pukul 4 sore dan kami langsung pergi ke Sekolah Republik Indonesia Tokyo, Meguro, untuk mengajar pukul 6:30-8:30. Kami tiba pukul 5 sore, masih ada 1,5 jam untuk beradaptasi. Hari ini mulai term baru KOI (Kursus Orientasi Indonesia) yang diselenggarakan Japinda (Japan Indonesia Association) dan bidang pendidikan KBRI Tokyo. Mulai April ini aku resmi mulai mengajar kembali setelah vakum 3 tahun.  Kursus ini pertama kali dibuat tahun 1974-an oleh kumpulan orang Jepang yang pernah tinggal, bekerja, bertugas di Indonesia yang berkeinginan mempelajari, bercakap-cakap mengenai Indonesia sambil ngopi-ngopi dalam suasana kekeluargaan. Jadi KOI memang bukan sekolah, lebih tepat dianggap sebagai mini culture center.

Biasanya kalau aku mengajar di situ, anak-anak aku titipkan mbak Ayu, yang suaminya bekerja di situ. Tapi kemarin mbak Ayu nya sakit. Waaah aku bingung, masak mengajar hari pertama sudah tidak nyaman. Bagaimanapun juga membawa anak-anak dalam kelas pasti akan merusak konsentrasi dan kelangsungan belajar. Kira-kira jam 6 sore, sudah tinggal 30 menit lagi, aku teringat om dan tante Soejarno yang tinggal di dekat sekolah. Langsung aku telepon mereka dan kebetulan mereka ada di rumah dan tidak ada acara apa-apa. Akhirnya aku mengantar anak-anak ke rumah mereka untuk menunggu selama aku mengajar. Hatiku tenang sekali waktu itu karena om dan tante Sudjarno sudah lama kukenal dan seperti keluarga sendiri. Sudah lama kami tidak bertemu, dan meskipun aku buru-buru aku senang sekali bisa bertemu keduanya.

Aku kembali lagi ke sekolah sambil setengah berlari, dan memulai pelajaran. Kelas dasar ada 7 murid, 5 yang baru dan 2 orang yang sudah pernah belajar tapi mau mengulang. Selalu senang mengajar orang baru, meskipun memang cukup sulit untuk mencairkan ketegangan mereka. Bagaimanapun juga orang Jepang lebih serius daripada orang Indonesia.

Dan kegembiraan ketiga hari ini adalah, salah satu murid baruku di kelas KOI ini juga tinggal di Nerima. Dan kami hanya beda 2 blok, sedangkan kalau dilihat jarak rumah hanya 5 menit naik sepeda. (Jalan kaki mungkin 10 menit). Dan rumah ibu itu berada pada jalur yang biasa aku lewati pulang. Jadi waktu pulang aku menawarkan ibu itu untuk ikut kami pulang naik mobil. Senang sekali bisa bercakap-cakap dalam perjalanan pulang di malam yang gelap. Biasanya hanya Kai yang menemani aku sampai di rumah, kalau dia tidak ketiduran. Riku biasanya langsung tidur begitu naik mobil.

Ibu itu (orang Jepang) belajar bahasa Indonesia di KOI ini secara rahasia! Tidak mau memberitahukan anak perempuannya yang sedang tinggal bekerja di Bali. Waktu ibu itu pergi ke Bali mengunjungi anak perempuannya, dia pergi kemana-mana naik motor, dan melihat kehidupan anaknya di negara asing. Dia merasa bahwa dia juga harus mulai belajar bahasa Indonesia supaya waktu dia mengunjungi anaknya lagi, dia bisa bicara. So sweet….. Aku senang karena sekali lagi Indonesia bisa merubah kehidupan orang Jepang, seorang lansia yang hidup sepi di Jepang.

Tapi dini hari aku merasa sedih. Membaca sebuah komentar yang membuatku tidak bisa berkata apa-apa, selain kesal. Mungkin kesalku padanya memang sudah memuncak karena dia selalu “mengejek” aku yang tidak tahu kondisi Indonesia. Mungkin maksudnya bercanda, tapi gotcha… candanya bisa mengiris-iris hati bagaikan pisau. Memang aku tidak tahu apa-apa tentang Indonesia and its life style…. siapa itu jayus, apalagi nama artis baru, atau program televisi. Makanya aku sering kesal jika membaca posting narablog yang membahas TV, dan masyarakat Indonesia. Aku bagaikan orang bego, dan aku tidak senang menjadi orang bego! Masalahnya hanya karena aku tidak tinggal di Indonesia. Itu adalah my handicap, dan dia telah menusuk suatu kondisi yang akupun tak dapat merubahnya. Aku tidak bisa dong meninggalkan suami dan anak-anak hanya karena aku ingin partisipasi membantu negaraku?

Dan ditambah dengan perjumpaan kenalan lama di FB. Bukan saudara, bukan teman, tapi suatu hubungan yang terkait-kait oleh pernikahan. Adik seorang om yang sudah meninggal yang tinggal di Amerika. Ingatanku dibawa kembali ke masa lalu, ketika dia menjelaskan dia siapa. Ya aku tahu aku pernah bertemunya di Jakarta …dulu waktu aku kecil. Alm om itu mempunyai anak gadis yang tanggal 8 kemarin menikah. Amelia…. dia dan mamanya pernah tinggal bersama kami waktu usia 4 tahun, setelah papanya meninggal.  Aku tidak bisa hadir di pernikahannya. Meskipun aku bisa melihat foto-fotonya, aku merasa sedih tidak bisa hadir langsung.

Ah, mungkin memang perasaan aku saja yang sedang sensitif akhir-akhir ini, apalagi besok tanggal 12 Mei adalah hari ulang tahun mama, dan aku tak bisa bertemu…… huhuhuhu… homesick!

UP and DOWN, naik turun berputarputar… gembira dan sedih begitu cepat berganti-ganti. Swirl, Tumble and Squish…. ah perasaan ini seperti dalam mesin cuci, tinggal tunggu kapan waktu untuk drain nya.

Memang keluarga yang terbaik…

Setidaknya itu kata Riku di akhir pekan lalu. Pada hari ulang tahunnya, Kamis lalu, dia mengundang 6 orang temannya untuk bermain di rumah. Sengaja bukan aku yang mengundang, karena sebetulnya tidak ada kebiasaan di Jepang untuk membuat pesta ulang tahun. Apalagi membagikan kue-kue bingkisan ulang tahun di sekolah (kebiasaan membagikan “berkat” begitu idi sekolah ternyata masih ada, karena waktu aku pulkam tahun lalu, adikku sempat bingung akan membagikan apa waktu anaknya ultah) sama sekali tidak ada. Well orang Jepang jarang memperingati ulang tahun deh.

Jika aku menuliskan undangan, ibu anak-anak itu akan kewalahan untuk mencari kado. M-E-R-E-P-O-T-K-A-N. Kita orang Indonesia bisa bilang, “Tidak usah bawa apa-apa….datang saja”. Tapi orang Jepang TIDAK AKAN PERNAH BISA DATANG TANPA MEMBAWA APA-APA. Pernah beberapa kali teman Riku main ke rumah, mereka pasti membawa (dibawain ibunya sih) satu bungkus snack untuk dibagi/makan bersama (OMG Riku pernah bermain ke rumah temannya ngga ya? Aku kudu siapkan snack nih untuk membawakan Riku kalau dia bermain ke rumah temannya).

Jadi aku menyuruh Riku memanggil temannya, dan karena aku sedang sibuk mengerjakan terjemahan aku sediakan pizza dan kue ultah dari Baskin aja. Undangan disampaikan hari Senin. Hari Selasa Riku mendapat jawaban bahwa hanya 3 orang yang bisa datang. Lalu aku bilang, biar saja, lebih sedikit kan lebih banyak jatah makannya hihihi (dasar pikirannya makan mulu). Tapi hari Rabunya dia pulang dengan sedih dan berkata bahwa cuma 2 orang yang bisa datang esoknya.

Pas hari H, sesudah pulang sekolah, Riku menjemput temannya ke bawah. Ternyata hanya ada satu orang yang datang, dan ….. mereka bermain di bawah. Temannya ini membawa semacam permainan dengan tali. Tapi mungkin Riku mengikat salah atau bagaimana, tali itu tidak bisa diurai lagi. Oleh temannya itu, Riku harus memperbaiki (mengurai) tali itu dan jika tidak bisa game DS nya untuk dia. Wah Riku kan panik, karena dia tahu DS itu mahal. Akhirnya Riku minta maaf dan lari ke rumah.

Begitu masuk ke dalam rumah, dia menangis. Wah aku kan panik, ada apa nih… Mendengar ceritanya ternyata dia di”ancam” harus memberikan barangnya jika tidak bisa begini begitu. Aku ikut sedih, karena kok anak kelas 1 SD sudah bisa main palak-memalak begini. “Hari ulang tahun aku yang paling buruk!”… Ya kenapa mesti terjadi pas di hari ulang tahun. Kasihan Riku. Untuk sementara aku peluk dia, dan mengajak dia makan Pizza berdua. “Hari Sabtu, Minggu dan Senin kan papa libur, nanti Riku pergi saja sama papa ya. Kasih tahu papa, Riku mau ke mana”
“Cuma mama yang baik sama Riku…”
“LOH Riku… Riku kan anak mama. Masak mama mau jahat sama Riku. Riku nangis ya mama juga ikut nangis dong.”
“Iya ya…. hihihihi”

merayakan ultah Riku dengan sederhana

Setelah Gen pulang kantor (yang lebih cepat dari biasanya yaitu jam 7:30 malam) kami makan pizza dan kue yang tadinya diperuntukkan pesta kecilnya Riku. Padahal tadinya mau makan di luar tuh, soalnya aku ngga ada waktu untuk masak.

bergaya dengan sepeda barunya

Baru hari Sabtunya, Riku pergi bersama papanya untuk membeli kado ulang tahunnya, sementara aku di rumah bersama Kai dan mengerjakan pekerjaan terjemahan yang belum selesai. Sebuah sepeda baru karena sepedanya yang lama sudah “kekecilan”. Anakku sudah bertambah tinggi, sehingga sepeda “masa kanak-kanak”nya sudah terlalu pendek untuk kakinya. Jadi kami sepakat untuk memberikan sepeda dengan jari-jari 22 cm (tadinya 18 cm).

bedanya ternyata cukup banyak ya, Ban dengan jari-jari 18 cm dan 22 cm

Sepeda yang lama nanti akan diberikan ke Kai kalau dia sudah mau, karena sebetulnya kami masih menyimpan roda bantuan sehingga tinggal dipasang saja lagi. Kasihan si Kai jarang dapet barang yang baru, selalu lungsuran.

Untuk berlatih memakai sepedanya yang baru, Gen mengajak Riku ke stasiun dekat rumah kami. Dan ternyata di pos pemadam api dekat stasiun itu sedang mengadakan “open house”. Jadi deh Riku belajar mematikan api, dipakaikan baju pemadam, diperbolehkan naik mobil pemadam, dan juga belajar tali temali serta pernafasan buatan untuk bayi. wow! Aku melihat foto-fotonya saja jadi iri, dan juga iri untuk Kai karena dia tidak ikut. Tapi Kai juga masih terlalu kecil, bisa-bisa dia nggerecokin saja, Pasti ada waktunya juga untuk Kai.

Well, terobati sudah kekecewaan Riku di hari ulang tahunnya. Memang melewatkan waktu bersama keluarga adalah yang terbaik….

Riku dengan baju petugas pemadam ... pipoooo pipoooo

midnight call

Aku terbangun oleh dering telepon itu. Pertama aku biarkan karena jika penting, pasti akan ada dering sesudah itu. Dan aku masuki kamar/studioku, membuka laptop. Kemudian dering itu terdengar lagi…. kring…kring…. Aku angkat.

“Maaf tengah malam begini. Saya XXX temannya Gen. Gen ada?” Hmmm kayaknya sih tidak penting, dan aku tahu Gen sulit dibangunkan.
“Wah maaf Gen sulit dibangunkan. Dia baru tidur…”
“Imelda?”
“Ya…saya. ”
“Masih ingat pada saya?”
“Ya saya ingat…. ”
“Maaf ya saya menelepon malam-malam begini.”
“Tidak apa kok. Kebetulan saya sudah terbangun. Ada apa? Kamu mau cerita pada saya?”
“Saya baru menutup telepon dengan orang lain. Teman saya, sahabat saya. Dulu saya selalu menemani dia, mendengarkan curhatnya. Tapi tadi saya mau curhat, dia tidak mau dengar…..”
“Hmmm mungkin dia mengantuk, dan besok perlu bangun pagi. Anggap saja begitu. Bukannya dia tidak mau dengar kamu.”
“Iya ya…pasti begitu ya….”
“Begini… setiap orang kan memang berubah. Yang dulu bisa, menjadi tidak bisa. Dan itu tidak bisa dielakkan. Setiap kehidupan itu berputar terus. Memang menyedihkan. Tapi kita harus menyesuaikan diri. ”
“Terima kasih ya mau mendengarkan saya. Padahal sudah malam begini. Iya memang semua berubah….”

Pembicaraan selanjutnya mengenai keluarga saya, mengenai masa lalunya, mengenai perceraiannya dan lain-lain. Tak terasa 2 jam berlalu… sudah jam 3 pagi. Dan meskipun saya berkata, kamu boleh telepon lagi lain kali, dan kalau aku terbangun kita bicara lagi… sejak itu dia tidak pernah telepon.

Semoga dia baik-baik saja…

Dan paginya waktu aku bercerita pada Gen, dia mengucapkan terima kasih atas apa yang kuperbuat untuk temannya itu. Dan terus terang Gen memang bilang dia tidak bisa mendengarkan curhat dari temannya. Hei laki-laki! kamu bisa tidak sih bersahabat dengan sesama jenis? Saling mendengarkan curhat dengan sesama jenis? Kalau wanita, dia bisa bergaul dengan laki-laki dan perempuan. Wanita memang lebih terbuka.

Padahal apa yang kuperbuat sehingga dia berterima kasih begitu? Hanya menemani temannya dan mendengarkan dia bicara. Tapi… itu yang memang “mewah” dalam kehidupan di Jepang.

In the wee hours, pada jam jam aneh di malam hari… di dini hari. Manusia yang kesepian amat merasa limbung, gamang ingin ditemani. Tapi… tidak ada orang yang dapat diajak bicara. Karena itu lah saya juga mengetahui bahwa ada beberapa pendeta buddha yang membuka jalur telepon “diskusi kehidupan 24 jam” untuk mendengarkan curhat mereka yang membutuhkan. Kebanyakan orang yang menelepon mempunyai perasaan kuat untuk bunuh diri.

Tidak kurang dari 30.000 orang Jepang bunuh diri setiap tahunnya. Seberapapun orang berusaha angka ini ditekan… tidak efektif. Mungkin orang Jepang perlu mengkaji kembali hubungan pertemanan mereka.

Apakah saya “aman” dari rasa limbung itu? Tidak! saya pun selalu mengalami masa-masa sepi dan ragu di malam-malam yang mencekam. Memang siapa sih yang bisa “bebas” dari masalah? Tapi saya punya Tuhan, bisa lari ke Tuhan dengan berdoa. Dan saya juga punya teman-teman baik yang kadang available di jam-jam aneh di dunia maya sana. Bertukar pikiran atau blogwalking juga bisa meringankan pikiran.

Memang sulit bagi pengidap insomnia untuk melewatkan waktu-waktu di mana orang seharusnya tidur. Dan malam hari memang menggoda manusia untuk berpikiran macam-macam dan merasa labil. Atau karena banyak pikiran itulah maka menjadi insomnia.

Saya tidak akan bercerita mengenai insomnia lebih mendetil karena itu di luar ranah saya. Tapi kemarin saya tertawa membaca sebuah tulisan dalam bahasa Jepang begini:
Di Jepang satu dari 10 orang mengidap insomnia. Insomnia ditimbulkan oleh stress atau kondisi badan yang tidak baik, dan salah satu penyebabnya adalah kekurangan vitamin D. Bagi penderita insomnia cobalah makan makanan yang banyak mengandung vitamin D seperti ikan tuna, butter, hati dan lain-lain. Bahan-bahan ini banyak terdapat di Izakaya (tempat minum minuman keras) ya? Cobalah makan dan minum di Izakaya… Mungkin dengan demikian Andapun bisa tidur lelap…..

Tahu kenapa saya tertawa? Ya jelas kalau minum minuman keras bisa mabuk atau tertidur kan? Bukan karena vitamin D nya… Tulisan di atas memang sebuah tulisan di majalah Gourmet, sehingga bisa saja dikategorikan “Iklan Menggoda” kalau bukan “Iklan Menyesatkan” seperti yang ditulis Bro Neo.

Semoga teman-teman pengidap insomnia bisa mendapatkan teman curhat, atau mendapatkan “obat” yang ampuh untuk mengatasi penyakit modern ini. Kalau mau midnight call ke saya juga boleh … tapi nanti jangan malah tambah insomnia memikirkan tagihan telepon interlokal ya…. hihihihi…..

NB: kelihatannya dalam minggu-minggu ini akan tercapai 8888 komentar di TE ini. Karena angka ini angka keramat untuk saya, maka saya akan mengirimkan sesuatu kepada komentator yang 8888. Tapi komentar hetrik yang Out Of Topik (OOT) mulai sekarang akan saya delete. Terima kasih atas perhatiannya.

Tips

Semua orang pasti tahu apa itu tips. Meskipun banyak sebetulnya artinya, bisa berarti ujung, bisa berarti kiat/nasehat/info, tapi juga bisa berarti uang persenan/uang rokok/uang jajan.

Nah, sebelum saya menulis tentang tips di Jepang, baca dulu sebuah ilustrasi yang cukup “kena” di hati saya waktu saya membacanya.

Satu sore di sebuah mal, seorang anak berusia sekitar 8 tahun berlari kecil. Dengan baju agak ketinggalan mode, sandal jepit berlumur tanah, berbinar-binar senyumnya saat dia masuk ke sebuah counter es krim ternama.

Karena tubuhnya tidak terlalu tinggi, dia harus berjinjit di depan lemari kaca penyimpan es krim. Penampilannya yang agak lusuh jelas kontras dibanding lingkungan mal yg megah, mewah, indah dan harum.

“Mbak, Sunday cream berapa?” si bocah bertanya, sambil tetap berjinjit agar pramusaji dapat melihat sedikit kepalanya, yang rambutnya sudah lepek basah karena keringatnya berlari tadi.
“Sepuluh ribu!” yang ditanya menjawab.

Si bocah turun dari jinjitannya, lantas merogoh kantong celananya, menghitung recehan dan beberapa lembar ribuan lusuh miliknya.

Kemudian sigap cepat si bocah menjinjit lagi. “Mbak, kalo Plain cream yang itu berapa?”

Pramusaji mulai agak ketus, maklum di belakang pelanggan yang ingusan ini, masih banyak pelanggan “berduit” lain yang mengantri. “Sama aja, sepuluh ribu!” jawabnya.

Si bocah mulai menatap tangannya di atas kantong, seolah menebak berapa recehan dan ribuan yang tadi dimilikinya.
“Kalau banana split berapa, Mbak?”
“Delapan ribu!” ujar pramusaji itu sedikit menghardik tanpa senyum.

Berkembang kembali senyum si bocah, kali ini dengan binar mata bulatnya yang terlihat senang, “ya, itu aja Mbak, tolong 1 piring”. Kemudian si bocah menghitung kembali uangnya dan memberikan kepada pramusaji yang sepertinya sudah tak sabar itu.

Tidak lama kemudian sepiring banana split diberikan pada si bocah itu, dan pramusaji tidak lagi memikirkannya. Antrian pelanggan yang tampak lebih rapi dan berdandan trendi banyak sekali mengantri.

Detik berlalu menit, dan menit berlalu. Si bocah tak terlihat lagi dimejanya, Cuma bekas piringnya saja. Pramusaji tadi bergegas membersihkan sisa pelanggan lain. Termasuk piring bekas banana split bekas bocah tadi.

Bibirnya sedikit terbuka, matanya sedikit terbebalak. Ketika diangkatnya piring banana split bocah tadi, di baliknya ditemukan 2 recehan 500 rupiah dibungkus selembar seribuan.

Apakah ini?
Tips?
Terbungkus rapi sekali… rapi !

Terduduk si pramusaji tadi, di kursi bekas si bocah menghabiskan Banana splitnya. Ia tersadar, sebenarnya sang bocah tadi bisa saja Menikmati Plain Cream atau Sunday chocolate, tapi bocah itu mengorbankan keinginan pribadinya dengan maksud supaya bisa memberi tips kepada dirinya. Sisa penyesalan tersumbat di kerongkongannya. Disapu seluruh lantai dasar mall itu dengan matanya, tapi bocah itu tak tampak lagi.

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/layar/2009/06/18/418/Di.Balik.Sepiring.Banana.Split

Menyentuh bukan? Mengingatkan kita, yang bekerja di bidang jasa/pelayanan agar tidak memandang penampilan pembeli dengan apa yang terlihat saja.

Saya tidak tahu siapa sih yang memulai kebiasaan memberikan tips atau persenan kepada pelayan/petugas yang telah melayani kita. Memang tips merupakan salah satu penghargaan si “pelanggan” terhadap “service” yang diterimanya. Tapi tidak semua dapat diekspresikan dengan uang, bukan? Kata terima kasih dan pujian yang tulus, sebetulnya sudah cukup karena toh sebetulnya pembeli sudah membayar apa yang sudah dibelinya.

Persoalan memberikan tips ini juga sering membuat saya pusing. Berapa sih sepantasnya saya memberikan tips kepada pelayan, yang jangan sampai dia tersinggung karena terlalu sedikit misalnya. Karena sejak kecil saya memperhatikan waktu bapak saya membayar, saya melihat berapa yang dia berikan untuk tips pelayan sebuah restoran misalnya. Besarnya tergantung pula pada “level” restoran itu, apakah hanya ber”level” rumah makan, atau restoran mahal yang eksklusif. Yang paling sering saya lihat memang, meninggalkan kembalian dari jumlah yang dibayarkan. (Dari segi kepraktisan memang malas rasanya menerima kembalian, apalagi kalau banyak koin nya)

Karena bapak saya juga sering ke luar negeri, saya juga tahu bahwa di Amerika atau negara Eropa, ada kebiasaan memberikan tips sebesar 10% dari apa yang sudah kita bayarkan. Hitungan ini yang kemudian saya pakai jika pergi ke luar negeri. Tapi ternyata, setiap negara punya hitungan dan kebiasaannya sendiri.

Misalnya waktu saya pergi ke Melbourne, saya sempat dimarahi adik saya yang tinggal d situ waktu itu, karena memberikan tips 10% dari yang saya harus bayarkan di sebuah restoran Vietnam. Katanya, “kamu merusak tatanan perburuhan di sini”. Jadi? saya harus membayar tips berapa? Katanya cukup 2-3 dolar saja. Hmmm….

sepanjang Romantischen Strasse dan berhenti di Wieskirche

sepanjang Romantischen Strasse dan berhenti di Wieskirche

Yang menarik juga pengalaman waktu menyewa mobil di Munchen sekitar akhir tahun 2001. Sudah sejak dari Jepang saya menghubungi Mr some-german-name lewat internet. Minta dijemput di bandara Munchen, untuk menuju Hersching, rumah kediaman adik saya waktu itu. Saya memakai jasa Mr itu selama 3 hari karena dia bisa berbahasa Inggris, dan mempunyai mobil besar yang bisa mengangkut 7 orang + koper.

Nah, yang menarik waktu saya akan membayar dengan credit card. Di situ tertera juga kolom “tips” selain dari harga yang saya harus bayarkan. Saya tinggal menuliskan berapa yang saya mau beri, lalu jumlahkan dan tanda tangan. Ow, praktis sekali. Jadi saya tidak usah menyediakan uang kecil terpisah.

Tapi, untung juga saya sempat menanyakan di bagian informasi airport Changi, waktu saya mendarat di Singapore dan akan bermalam di hotel di sana. Saya tanyakan berapa saya harus bayar tips untuk supir taxi, dan berapa untuk petugas hotel. Kemudian kembali saya ditanya, “Madam, kamu akan menginap di hotel mana?”
“Raffles”
“THE Raffles??? (hei… I ‘m on honeymoon you know! jangan pasang muka aneh gitu dong) well, kamu tidak usah memberikan tips pada petugas di sana, karena semua service dia sudah termasuk dalam bill hotel. ”
“Untuk bell boy juga?”
“Ya, tidak usah….” uhhh gini deh kalo katrok.
Jadi memang akhirnya saya tidak memberikan apa-apa kepada petugas hotel yang bersorban dan gagah-gagah itu. Tapi tetap saja rasanya tidak “nyaman” jika tidak memberikan tips.

Raffles Hotel, sayang tidak ada foto dengan bapak bersorban

Raffles Hotel, sayang tidak ada foto dengan bapak bersorban

Memang saya perhatikan juga kebanyakan restoran besar di Jakarta sekarang sudah menambahkan sekian persen (5% rasanya) di dalam tagihan makanan khusus untuk service. Nah, kalau saya sudah melihat tulisan itu, enak deh, tidak usah memberikan tips lagi.

Tapi memang paling enak menjadi turis di Jepang. Semua restoran, hotel, pelayanan jasa … SEMUA TIDAK MENERIMA TIPS. Jangan sekali-kali mencoba memberikan tips kepada supir taxi, pelayan toko/restoran di Jepang, karena biasanya kamu akan malu sendiri. Mereka akan kembalikan, dan menjawab, service sudah termasuk dalam barang/jasa yang dibayarkan. Tidak usah bersusah payah menghitung-hitung berapa tips yang patut diberikan. Bayar sesuai tagihan saja. (Oh ya, kebanyakan restoran di Jepang kita yang harus membawa tagihan bill ke kasir dan membayar sebelum keluar restoran. Sedikit sekali yang mau menerima bayaran di meja. Kecuali hotel internasional)

Lalu apakah orang Jepang memang sama sekali tidak memberikan tips? Kata beberapa murid saya, tentu saja ada yang memberikan tips jika menginap di hotel ala jepang “ryokan” yang pelayanannya memang bagus sekali (dan biasanya memang mahal). Diberikannya langsung pada pemilik ryokan tersebut. Atau pelanggan pria yang menggunakan jasa “pub/snack” memberikan pada host “Mama-san” (pemilik night club). Dan biasanya tips itu juga cukup besar jumlahnya. Tapi untuk kita yang “turis biasa-biasa” tidak perlu memikirkan tips di Jepang.

Nah, karena di Jepang tidak ada kebiasaan memberikan tips, biasanya orang Jepang yang ke Indonesia juga terbawa kebiasaan itu, tidak memberikan tips pada pelayanan yang diterima di tempat wisata/restoran di Indonesia. Sehingga terkenallah, “Orang Jepang Pelit!”. Meskipun bagi orang Jepang yang sudah sering ke luar negeri, mereka tahu kebiasaan memberikan tips ini. Dan biasanya mereka menaruh uang tips itu di atas bantal. Namanya saja Makurazeni 枕銭 まくらぜに (Makura = bantal, zeni = uang). Katanya itu untuk petugas yang membersihkan kamar. Hmmm memang orang Jepang jarang ada yang bisa memberikan langsung tips ala “salam tempel”.

Well, berapa pun yang kita berikan untuk tips pada jasa yang kita terima tentu saja akan diterima, asalkan kita juga memberinya dari hati bukan? Seperti si anak yang membeli Banana Split pada cerita di atas. Bagaimanapun Pelayan juga manusia!

Jangan paksakan diri demi aku

terjemahan dari bahasa Jepang, “Boku no tameni muri shinaide ne”

Sabtu malam, papa Gen pulang ke rumah sekitar jam 8 malam. Kebetulan anak-anak belum makan, dan pas baru akan makan. Waktu aku  mempersiapkan makanan, Gen bilang padaku, “Sorry sayang, besok (minggu) aku harus kerja”. What?
Aku juga agak kecewa, karena kebayang capeknya melewati hari minggu bertiga lagi. Tapi apa boleh buat, kalau memang kerjaannya belum selesai abis bagaimana. Jadi aku bilang pada Riku, “Riku besok papa kerja, jadi kasih itunya sekarang saja”.

Riku sudah membuat gambar dan “convinience tools” untuk papanya, kado di Hari Ayah. Karena aku bilang kasih sekarang saja (semestinya besok), kemudian dia berikan pada papanya. Terima kasih bla bla bla….. ok… dinner time.

Salah satu gambarnya Riku ; "Riku with Papa"

Tapi waktu kami akan mulai makan, Riku bertanya sekali lagi,
“Besok papa kerja?”
“Iya, maaf ya Riku….”
“Ya sudah, besok Riku, Kai dan mama pergi jalan-jalan yuuuk”, aku berusaha menghibur.
Tapi aku lihat warna mukanya berubah. Gen tidak perhatikan, karena dia duduknya menyamping. Aku tahu, Riku akan menangis, jadi aku langsung menghampiri dia, memeluk dia dan berkata,
“Riku, papa juga ngga mau pergi kerja, tapi kalau pekerjaannya belum selesai gimana”
Meledaklah tangis Riku, dan Gen terkejut. Tidak menyangka. Langsung Gen bilang,
“OK Riku, besok papa libur!!! Yosh… kimeta (saya putuskan) tidak ke kantor”
Gantian Gen memeluk Riku, dan terucaplah kalimat di atas,
“Papa jangan paksakan diri libur hanya untuk Riku!”
sebuah ungkapan yang sering dipakai orang Jepang yang sebetulnya berusaha untuk menyatakan bahwa dirinya tidak apa-apa. ….. Tapi biasanya dipakai oleh orang dewasa tentunya. Aku juga heran sampai Riku bisa berkata begitu. Kasihan, dia terlalu cepat menjadi dewasa pemikiran….

Sambil menahan haru, Gen bilang,
“Kamu bilang apa? Bagi papa, Riku lebih penting dari kerja. Besok kita pergi sama-sama ya”
Kami bertiga menghapus airmata dan berdoa makan…. cuma kai saja yang tertawa melihat kami…..

Hari Minggu Hari Ayah! Masak seorang Ayah harus bekerja di hari itu? Sama saja seorang buruh bekerja di Hari Buruh… dan itu sering terjadi di keluarga Jepang pada umumnya, dan keluarga Miyashita pada khususnya. Bukan karena suka kerja, workholic, tapi karena terpaksa. Sambil merenungi kejadian Sabtu malam itu, aku berpikir. Dulu papaku juga tidak pernah ambil cuti. Tapi anak-anaknya tidak ada yang protes atau berkata seperti Riku, jadi ya begitu saja terus. Kami jarang sekali bepergian/piknik bersama. Jadi teringat sebuah iklan mobil di TV Jepang, “Mono yori omoide” (Daripada barang lebih baik kenangan).

Berkat Riku, hari Minggu kami lewati dengan penuh kegembiraan, meskipun hari hujan dari pagi hari. Aku terbangun jam 6 pagi, padahal baru tidur jam 3 pagi. Tapi Riku juga bangun jam 6, dan tak lama Kai bangun juga. Jam 8 semua sudah berkumpul di kamar tamu. Jadi, hari ini mau ke mana?

Dan sekali lagi Riku berperan, “Aku mau ke yokohama, ke tempat A-chan (ibunya Gen) dan Ta-chan (bapaknya Gen)”. Ya, sekaligus deh merayakan Hari Ayah bersama Ketua Clan Miyashita.

Jam 9 pagi kami sudah di jalan raya di bawah rintik hujan, dan… lapar. Lalu aku bilang pada Gen, bahwa mulai kemarin di Mac D hadiahnya karakter Pokemon. Dan ini pasti cepat habis. Jadi akhirnya kami mampir ke Mac D, dan saya juga pesan Happy Set + untuk anak-anak, supaya bisa dapat mainan pokemonnya 3 buah. Dan Kai, langsung berseri-seri melihat mainan pokemon, “Pipa…pipa…” rupanya dia mau bilang Pika (pikachu).
Ternyata tidak perlu makanan mewah dan mainan mahal untuk menggembirakan satu keluarga (Yang pasti Gen dan aku ikut gembira karena rasa lapar terobati. Paling tidak enak menyetir dalam keadaan lapar).

bermain bersama Ta-chan

Setelah selesai sarapan, kami bergerak menuju Yokohama dalam hujan yang menderas, dan jalanan yang mulai padat dan macet. Hampir satu bulan lebih kami tidak saling bertemu, dan ternyata banyak berita keluarga yang tidak sempat kami ketahui. Yang sakit, yang cuti, yang menderita…. Nampaknya tahun ini akan menjadi tahun yang sulit juga bagi keluarga kami. Menghitung hari-hari tersisa dalam kehidupan.

Biasanya kami pulang larut malam, tapi karena sudah lama juga tidak bertemu adikku Tina, jadi kami mampir dulu ke apartemennya. Ternyata dia sendiri, Kiyoko temannya sedang pergi ke rumah orangtuanya. Jadilah kami ajak dia makan malam bersama di restoran Taiwan. Yang saya merasa menyesal saat itu, kenapa tidak minta Tina untuk memotret kami berempat! Baru ingatnya setelah jalan pulang.

Well, week end is over, and back to reality.