Sesuatu yang Rusak

Aku ingin memperkenalkan adik iparku yang bernama Ryoko Oguchi (42, penyair). Lulusan Universitas Waseda dan namanya mulai mencuat karena mendapat penghargaan Kadokawa Tankasho tahun 1998. Setelah itu dia sudah menerbitkan 3 buku berjudul “Hai Lian”, “Tohoku” dan “Hitakami”, yang masing-masing juga mendapat penghargaan di bidang Tanka Jepang. Dari judul bukunya saja, kecuali Hai Lian (nama tempat di Cina), Tohoku dan Hitakami adalah nama yang sekarang menjadi topik sejak Gempa Tohoku 11 Maret, yang besok menjadi 3 minggu.

Dan kebetulan tanggal 27 Maret yang lalu, tulisannya dimuat di koran Mainichi Shimbun, dan aku ingin share pada teman-teman, dengan menerjemahkan tulisannya. Sebuah tulisan dari salah seorang korban gempa.

Sesuatu yang Rusak

dari daerah gempa Higashi Nihon Daishinsai

Empat belas hari sesudah gempa, ketika aku menulis artikel ini. Berada di Sendai dengan listrik dan air mati berkelanjutan, aku mengumpulkan informasi lewat surat kabar dan radio, dan kadang-kadang antri untuk makanan dan air minum. Dikejar-kejar dengan waktu untuk mencari keberadaan teman-teman, sambil terus membujuk anak lelakiku yang ketakutan setiap terjadi gempa susulan.

Tak bisa mandi, bahkan kadang lupa cuci muka. Bahkan hari-hari berlalu tanpa diketahui lagi ini hari apa atau jam berapa. Dua minggu yang berlalu begitu cepat, tapi tak sebait puisi pun bisa tercipta.

Di lain pihak 2 minggu ini aku berasa menjadi tua. Kehidupan 6 bulan yang lalu, seakan-akan sudah lama sekali berlalu. Lifeline (air, gas, listrik) hampir pulih sempurna, barang-barang pun sudah mulai beredar. Tapi kehidupan normal seperti sebelum gempa, sama sekali tidak terasa.

Apa yang terasa benar-benar rusak? “Sesuatu” itu yang sampai sekarang tidak bisa kujadikan puisi. Tersiksa oleh frustasi dan ketidakberdayaan.

Waktu itu, kebetulan aku berada di rumah, di Sendai.

Kebetulan kami bertiga berada dalam kamar yang tidak berperabot besar.

Kebetulan kami tidak pergi ke taman “dekat laut” yang disukai anak lelakiku.

Dengan “kebetulan-kebetulan” yang bertumpuk itu, aku sekarang hidup. Hanya bersyukur dan berterimakasih…. dan itu menakutkan.

Sambil diterangi lampu senter, saat itu kami bertiga berkumpul, kami makan berbagi satu bungkus cracker. Sambil gemetar dan tahu bahwa cracker ini adalah satu kemewahan.

Dari TV yang berada di kantor pos, kami mengetahui keadaan Stasiun Sendai, Bandara, kota yang pernah kami tinggali Ishinomaki, pelabuhan, sungai Hitakami. Semua pergi kemana? Informasi tentang desa di Iwate yang pernah kukunjungi waktu mahasiswa tidak ada. Semua bagaimana ya?

Meskipun aku berada di Tohoku, aku tidak mendengar suara Tohoku. Rintihan, teriakan sama sekali tidak terdengar. Di telingaku hanya ada suara dengung pejabat tinggi dari studio di Tokyo.

Di televisi, berita mengenai musibah ini tak putus-putus. Tentang gempa, tentang tsunami, tentang kecelakaan PLTN, kata-kata yang begitu banyak melimpah ruah sekaligus, sehingga terasa menghapus suara warga yang terkena musibah. Dan ini membuatku langsung menjauhi televisi itu.

Salah satu yang rusak oleh gempa ini mungkin adalah “Perspektif  Bahasa”.  Sekarang yang aku ceritakan bukan bahasa diriku sendiri, tapi bahasa “siaran berita” . Yang kudengar tadi malam, bukan suamiku tapi mungkin suara orang mati. Dalam perspektif yang tidak jelas demikian, kuingin sesuatu yang jelas seperti puisi (Tanka).

Kalau dilihat dari sisi orang-orang yang melewatkan hari di pengungsian, atau mereka yang ditinggalkan kekasih mereka, puisiku juga akan menjadi tidak jelas. Tapi aku tetap ingin membuat puisi dari kenyataan yang ada di depan mata. Setelah ini mungkin akan banyak tercipta puisi yang tercetus dari musibah gempa ini. Dan bait demi bait akan kuresapi dengan semangat untuk bangkit kembali. (Ooguchi Ryouko – Penyair- Mainichi 27 Maret 2011)

 

NB: Kami sebenarnya ingin sekali pergi ke Sendai, menjenguk mereka. Tapi kemarin adik Gen mengatakan bahwa Ryoko sedang berada di Kobe untuk acara puisinya. Lagipula jangan datang ke Sendai. Masih banyak mayat yang belum terurus karena jumlah begitu banyak 😦 Jadi belum pantas untuk dikunjungi.

 

Sweet and Fun

Dalam posting “Magnolia“, aku menulis bahwa aku sudah mulai stress, dan langsung ditanggapi teman gerejaku, Lisa, katanya, “Mel jgn stress yuk bikin acara ngumpul di park pas anak2 lg liburan nih… Atur waktu biar nesta ama inge bs ikutan sekalian:) aku tunggu ya…”. Dan kupikir memang benar, aku harus keluar dan bertemu teman-teman. Setahan-tahannya aku dengan segala “cobaan” untuk panik, ada batasnya juga. Dan karena aku harus mengajar hari Senin, maka aku set hari Selasa tanggal 29. Tadinya ingin mengunjungi NHK Park di shibuya, tapi waktu aku cari di website bisa tahu bahwa NHK Park itu tutup s/d bulan September. Jadi?

Akhirnya aku menentukan tempat pergi kali ini adalah resto sweet and cake all you can eat yang bernama “Sweet Paradise”. Terakhir aku pergi ke resto ini tgl 26 Juni th 2008, hampir 3 tahun yang lalu!

Karena takut tidak dapat tempat sekaligus tanya apakah mereka buka seperti biasanya sesudah gempa, sebelumnya aku sudah telepon dulu. Ternyata buka, dan aku reserve untuk 7 orang jam 11:30.

Jadi jam 11 kami berkumpul di Hachiko, Shibuya, sebuah tempat orang-orang Jepang janjian untuk bertemu dengan patung anjing Hachiko yang terkenal itu. Riku dan Kai juga sudah senang sekali mendengar aku ajak mereka untuk ke restoran bertemu orang Indonesia (ntah kenapa kedua anakku suka sekali kalau bertemu tante-tante hihihi), apalagi waktu kubilang bahwa ada satu tante (Lisa) membawa 2 anak laki-laki juga. “Mama, dia akan bawa DS ngga ya? aku mau tanding dengan dia”…duuuh kemana-mana mainnya game aja.

Hebat deh teman-temanku ini, Lisa dan Riku, teng jam 11 sudah ada di Hachiko! Good…sudah menjadi orang Jepang hihihi. Tadinya masih tunggu Whita akan join atau tidak, tapi ternyata suaminya sakit cukup parah sehingga perlu diinfus. Jadi Whita batal ikut makan-makan kali ini.

Kami berjalan ke arah Resto Sweet Paradise ini yang terletak di Spainzaka, sebuah daerah bagian tengah yang cukup padat dengan toko dan resto. Untung saja bisa pakai GPS nya sehingga tidak kesasar, dan bisa langsung ketemu. Meskipun kami datang lebih pagi dari jam pesan, kami dipersilahkan masuk. Oh ya di sini sistemnya pakai sistem bayar duluan di vending machine (mesin tiket). Dewasa 1480 yen dan anak-anak dari 4 tahun 840 yen. Yipiiii, Kai tidak usah bayar karena masih 3 tahun (Orang Jepang jarang berbohong dengan umur anak. Dan pegawai toko juga tidak minta surat keterangan yang menunjukkan umur anak tersebut).

Kami diantar ke meja, dan persis deh anak-anak satu meja, ibu-ibu satu meja. Memang awalnya Kai maunya duduk dengan aku, tapi akhirnya dia bisa akrab dengan Ruben, sulunya Lisa. Layaknya di restoran all you can eat di Indonesia, seperti Hanamasa atau American Grill, di sini kita tingga ambil apa yang kita mau. Dan meskipun dikatakan Cake and Sweet, di sini disediakan juga spaghetti berbagai jenis, nasi, kare, udon dan sandwich. Juga ada salad, sup, bermacam agar-agar, es krim, minuman dan… 10 jenis lebih kue.

cakes and chocolate

Kecuali Kai, anak-anak sudah cukup besar untuk ambil makanan sendiri, apa yang mereka mau. Sedangkan Kai yang memang penyuka spaghetti lebih asyik bermain sambil aku suapi. Selain jenis makanan yang aku sebutkan tadi, ada juga fountain coklat cair (aku jadi ingat Narpen… Narp kalau ke Tokyo kita makan di sini yuuk, di Kichijoji dekat rumah juga ada kok). Dan ada pop corn…. lucu sekali melihat Kai bolak balik ambil pop corn terus. Benar-benar terlihat bedanya kedua anakku ini. Riku suka manis, Kai suka asin 😀

Sambil makan 90 menit (memang cuma bisa 90 menit…tapi itu cukup lama), aku, Lisa dan Nesta ngobrol soal gempa dan kepanikan orang-orang yang terlalu “lebay”. Lihat saja di mana-mana sudah penuh orang jalan-jalan mencari hiburan, tanpa ada yang pakai masker (kecuali sakit) dan tanpa was-was. Enjoy aja tuh. Memang sih kalau tinggal di rumah terus, lalu menonton berita terus, apalagi isinya tentang kehidupan pengungsi yang sedih, bawaannya tentu suram terus. Yah sama dengan aku setelah 2 minggu tanpa hiburan bertemu teman, rasanya mulai tertular panik. Padahal semua BIASA-BIASA saja. Di dekat rumahku memang tissue dan air mineral tidak ada, tapi di dekat rumah Lisa dan Nesta masih banyak kok. Wilayahnya lain kebutuhannya memang lain. Wilayahku memang banyak perumahan dengan keluarga-keluarga yang minimum 4 orang (ayah-ibu-2 anak) sehingga kebutuhan pokok cepat habis.

Sayang sekali Whita tidak bisa hadir

Senang sekali bertukar cerita begini, dan kami semakin yakin bahwa orang Jepang itu memang hebat! Menurutku itu semua karena masyarakat Jepang adalah masyarakat Tate shakai atau vertikal (jadi ingat kuliahnya Ibu Jenny Simulya “Sistem Masyarakat Jepang” )  yang menuruti perintah atasan. Jadi kalau atasan berkata “OK, tenang saja” atau “tidak apa-apa”, ya mereka percaya saja.

Begitu mendekati waktu 90 menit habis, kami bersiap-siap pulang. Karena memang berbenturan dengan makan siang jadi antriannya panjang banget di luar. Restoran juga kebanyakan penuh oleh remaja-remaja putri, jadi…rame deh hihihi

Berjalan ke arah pulang, bingung juga mau ke mana. Kalau ke departemen store sudah pasti anak-anak bosan. Susah deh kalau pergi dengan anak-anak, tapi memang rasanya kami belum mau berpisah saat itu. Wong baru jam 1 siang….. Jadi akhirnya kami mampir deh ke karaoke. Dan sebetulnya aku sudah lama sekali tidak pergi karaoke. Terakhir kapan ya?

Ini kesempatan pertama karaoke untuk Kai, tapi juga pertama kali untuk Riku setelah dia bisa baca hiragana sendiri. Riku cukup banyak tahu lagu-lagu anime dan acara TV, sehingga bisa menyanyi. Senang juga mendengar anakku menyanyi. Musti sering-sering pergi nih. Karena si Kai juga kelihatannya suka menyanyi. Yang pasti dia tidak mau melepaskan mike dari genggamannya 😀

Tidka mau melepaskan mike dari genggaman 😀

Yang tadinya hanya mau 1 jam karaokean, menjadi 2 jam. Dan akhirnya kami berpisah di depan patung Hachiko kembali, untuk berjanji bertemu lagi jika ada kesempatan. Minggu depan sakura mulai mekar di Tokyo, jadi kalau bisa kami akan pergi ke taman bersama anak-anak.

Terasa sekali secara mental aku bisa recharge dengan pertemuan ini. Sampai-sampai kemarin aku malas posting hehehe. Hari ini pun aku paksakan posting supaya jangan sampai menjadi malas. Bahaya loh begitu “libur” posting, biasanya akan keenakan, keterusan libur, dan menjadi hiatus. Jadi …. jangan sampai libur lama-lama deh (ini pengalaman pribadi loh)

4 boys di depan patung Hachiko

 

Gelap euy

Hari ini pertama kali aku menyetir lagi ke arah kota Tokyo, Meguro-ku tepatnya ke Sekolah Republik Indonesia Tokyo. Selama 2 minggu kursus bahasa Indonesia yang aku ajar itu libur. Minggu pertama karena sesudah gempa dan pemadaman bergilir, tidak adanya transportasi dsbnya, masih chaos sesudah gempa. Sedangkan minggu ke dua memang karena hari libur di Jepang, equinox day (21 Maret).

Hari ini kami keluar rumah lebih cepat 30 menit dari biasanya, karena aku mau mampir ke drugstore untuk membeli odol untuk Riku (heran deh Odol deMiyashita itu macam-macam, setiap orang punya kesukaan masing-masing. Jadi wastafel penuh dengan odol berbagai jenis :D. Semoga di rumah teman-teman tidak begitu ya hehehe). Aku sekalian juga mau inspeksi barang apa yang tidak ada.

Masuk ke drugstore itu, kesannya sudah suram, karena penghematan listrik jadi lampu juga dikurangi. Putar-putar rak, ambil sabun cuci, ambil sabun cuci piring, lalu ke tempat tissue. Wah tissue kotak tidak ada! Memang sejak gempa tissue kotak seakan menghilang dari peredaran. Entah stock habis, ntah produksi berhenti. Padahal tissue kotak itu termasuk barang utama di rumahku. Karena semua sering pilek alergi. Tidak ada tissue kotak! Hmmmm mungkin kalau ibu Jepang sudah panik ya? Tapi aku tidak! Karena dulu waktu aku kecil di Jakartapun tidak ada tissue. Kami mempunyai saputangan sebesar handuk face towel, terbuat dari bahan gauze (yang biasa dibuat popok bayi) , yang dibuat mama khusus (Kata Gen: “hebat perawat kita” karena dulu mama memang perawat) . Bahan itu lembut sehingga tidak melukai hidung kami yang memang sensitif. Nah! Aku masih punya beberapa kain gauze  di rumah dan bisa dijadikan saputangan. Back to nature deh, tanpa tissue!

Barang lain yang tidak ada adalah air mineral 2 l. Habis! Masih ada tertempel di raknya “Satu keluarga 1 botol”. Rupanya waktu pemkot Tokyo mengumumkan agar bayi tidak minum susu dari air keran, semua orang menyerbu penjualan air mineral (kecuali imelda tentunya, wong untuk bayi kan…. dan memang masih ada persediaan RO Water yang aku khususkan untuk anak-anak saja.)

Oh ya, satu lagi yang sedikit persediaannya adalah pembalut wanita! Nah loh, kalau tidak ada persediaan, cukup panik juga ya. Susah memang menjadi wanita itu. Dan aku yakin sedikit sekali pembaca TE yang pernah hidup di jaman belum ada s*ftex hehehe. Jadi tidak tahu kan, bagaimana penyelesaiannya jika tak ada pembalut wanita. Sekali lagi kecanggihan mama akan tergali kembali, karena jaman baheula aku masih sempat memakai pembalut kain buatan mama…. lagi-lagi dari bahan gauze. Kalau sampai harus begitu, ya apa boleh buat yah hehehe. Asal jangan kembali ke jaman batu deh. Tanpa kain….. berarti harus pakai rumput, seperti wanita-wanita di Papua jaman dulu 😀

Aku jadi teringat dulu kami sering beli s*ftex dalam kemasan kardus di pasar belakang rumah. Jaman dulu satu kardus berisi sekitar 12 pembalut, dan langsung masuk kardus tanpa diplastiki satu per satu seperti sekarang. Tak jarang kami menemukan bangkai kecoak di dalam kardus itu…hiiiiii 😀

Tadinya aku mau lihat satu-persatu barang apa lagi yang tidak ada, tapi karena waktunya tidak banyak jadi aku cepat-cepat membayar belanjaanku. Pegawai kasir yang melayaniku ternyata orang yang mengenalku. Sudah beberapa kali dia menegurku setiap aku belanja di situ. Dan kali ini sambil dia men-scan harga barang yang kubeli, dia curhat padaku, “Aduh aku menghilangkan buku catatan kesehatan anakku. Bagaimana ya?”
Aku cukup heran kok tanya padaku, “Loh tidak apa-apa, pasti bisa minta ganti ke kelurahan. Jangan khawatir”
“Tapi kan data-data vaksinnya tidak ada lagi”
“Kan dia pernah sekolah TK. Waktu mendaftar kan kamu tulis data-data vaksin segala di kertas formulir. Minta copynya saja ke TK itu. Tinggal disalin kembali ke buku catatan yang baru”
“Oh iya ya…. terima kasih. Saya sudah panik kemarin, tidak tahu mau tanya ke siapa. Kalau tanya ibu saya, pasti dia marah-marah.”
“Pasti tidak apa-apa. Kalau perlu bisa tanya ke RS tempat kamu menerima vaksin, mereka pasti punya catatannya juga”

Buku catatan kesehatan ibu dan anak, sejak kehamilan sampai sekitar usia 12 tahun

Begitulah aku yang orang asing menenangkan warga Jepang. Sok teu banget ya aku hahaha. Dan saat menulis posting ini aku baru sadar bahwa odolnya Riku tidak terbeli, karena lupa hahaha.

Dengan santai aku menyetir di jalan yang tidak begitu padat. Rekor deh 30 menit sudah sampai di Meguro, padahal tidak ngebut loh. Langsung mengantar anak-anak ke rumah teman untuk menunggu aku selama aku mengajar. Dan aku sendiri ke SRIT. Di koperasi SRIT aku beli mie sedap, kecap manis, dan…batagor. Wah rejeki aku bahwa ada ibu-ibu orang Indonesia yang membuat batagor untuk kantin, dan aku kebagian. Satu bungkus 200 yen, cukup untuk menahan rindu pada siomay bandung deh hehehe. (Belinya sih ngga satu bungkus, semua yang tersisa aku beli tuh hahaha)

slurp...sambil membayangkan siomay bandung nih

Hari ini ada 3 murid yang absen, 4 yang hadir. Karena takut kehabisan kereta, maka pelajaran dipersingkat seperempat jam. Aku juga cepat-cepat menjemput anak-anak dan menyetir pulang. Untuk pulang aku harus melewati jalan Kan 7, jalan yang cukup besar di sebelah barat Tokyo. Dan saat itu aku perhatikan, waaahhh lampu listrik di sepanjang jalan Kan 7 itu mati! Hanya beberapa yang nyala. Pantas terasa gelap. Suasana yang sama seperti yang aku rasakan setiap aku mendarat malam hari di Soekarno Hatta, dan memasuki jalan tol, kemudian ke arah kebayoran. Gelap!

Ternyata yang salah bukan Jakarta, tapi Tokyo! Tokyo selama ini terlalu terang benderang deh. Buktinya Kan 7 tanpa lampu jalan saja masih terang kok, karena banyak mobil yang lewat. Bagus deh dengan demikian orang Tokyo juga belajar untuk berhemat listrik. Selama ini terlalu manja nih. Dan ntah kenapa aku juga merasa semua mobil mengurangi kecepatannya. Sebelum gempa, aku lumayan bisa ngebut di Kan 7, tapi hari ini bawaannya santai sekali. Ah…. kalau terang memang rasanya adrenalin juga meningkat dan semangat untuk “berlari terus”. Kali ini Jepang juga harus slow down ….dan kadang memang perlu juga kita slow down ya.

Backward or Rewind

Segala musibah yang bertubi-tubi bagi bangsa Jepang ini memang masih menjadi topik pembicaraan di mana-mana. Tadi pagi aku sempat membaca bawa ada sebuah  Thermal power station di daerah Ibaraki yang berhenti pada waktu gempa sudah bisa beroperasi kembali, sehingga kemampuan listriknya bisa memenuhi daerah Ibaraki. Sedikit demi sedikit Jepang mulai menggeliat bangkit.

Selain itu ada pula berita yang menyejukkan dari sisi perekonomian. Ternyata banyak orang yang berkunjung ke daerah gempa dan membeli barang-barang produksi daerah Tohoku. Bukan itu saja, banyak toko satelit dari 3 prefektur itu di Tokyo yang ramai dikunjungi pembeli. Karena dengan membeli barang produk daerah lokal, bisa membangkitkan perekonomian daerah itu. Yang pasti orang Jepang tidak berpangku tangan.

Dan malam hari tadi aku sempat menonton sebuah acara musik dadakan selama 3 jam yang bertujuan untuk memberikan semangat pada pengungsi di daerah bencana. Artis-artis top menyanyikan lagu mereka sambil memberikan pesan pembangkit semangat. Ada pula pembacaan fax dari pemirsa, terutama dari warga Kobe yang 16 tahun lalu mengalami gempa bumi. “Kami korban gempa bumi 16 tahun lalu dan masih hidup. Kami yakin Anda semua juga bisa tetap hidup seperti kami”. Lalu ada pula sebuah fax yang dikirimkan oleh penonton di pengungsian Kesannuma, daerah terparah oleh tsunami. Sayang sekali aku tidak begitu mendengar isi faxnya bagaimana karena Kai ribut sekali waktu itu. Tentu saja acara ini dimaksudkan untuk mengumpulkan sumbangan yang dipoolkan ke Palang Merah Jepang. Tidak ada sms di Jepang, jadi tidak ada sistem mengirim sms.

Di antara lagu-lagu yang dinyanyikan, kebanyakan memang lagu-lagu lama. Yang bertemakan “You are not alone” (aku langsung pasang lagunya MJ deh sambil menulis posting ini), “Daijobu” (Tidak apa-apa). Dan ada sebuah lagu yang dibawakan Makihara Noriyuki yang berjudul “Tooku tooku” (1992)

Meskipun terpisah jarak yang begitu jauh
Buatlah saya mengetahui kabarmu
Kusambut hari gemilang dengan sekuat hati
di kota ini

Lagu-lagu yang bagus, yang banyak menguras airmata juga. Seakan me-rewind CD tahun 1990-an. Yah kurasa memang kadang kita perlu merewind kisah kita, kisah negara kita, guna melihat kembali sejarah. Dari situ banyak yang bisa kita pelajari, sehingga bisa maju lagi ke depan.

Cap tangan dari Indonesia yang membentuk bulatan bendera Jepang, di depan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta sebagai solidaritas dari rakyat Indonesia (foto dari KB Kyodo)

Sekarang mungkin Jepang harus backward dulu sedikit, untuk membereskan kerugian yang terjadi akibat gempa. Dengan kekurangan listrik juga misalnya, perlu kita berpikir dua kali jika ingin memakai peralatan listrik. Yang pasti aku mengurangi banyak pemakaian microwave. Kalau bisa menghangatkan makanan dengan kompor gas, mengapa harus pakai microwave. Kalau bisa mengeringkan rambut dengan handuk, kenapa harus pakai hairdyer. Kalau bisa mencuci baju dengan tangan kenapa harus pakai mesin cuci (kalau sedikit lohhh, kalau banyak aku juga belum sanggup deh) . Kalau bisa gelap-gelapan uang, kenapa harus berterus terang,…..ups kalimat terakhir  ini harap dihapus saja hehehe.

Rewind dan Backward boleh saja untuk beberapa hal, tapi yang paling penting semangat hidup harus terus maju, forward. Seperti pidato salah satu murid lulusan SMP di Kesennuma (daerah tsunami terparah) pada upacara kelulusan mereka, “Cobaan Tuhan kali ini sungguh berat. Dalam kondisi yang buruk begini, jangan menyalahkan Tuhan, bertahanlah pada nasib, saling menolong untuk tetap hidup. Ini adalah tugas kita”. Perkataan anak lelaki ini benar-benar bisa menjadi pembawa semangat orang-orang untuk tetap maju.

Anak-anakku dengan bunga Magnolia

Ada rangkuman 10 hal yang dapat dipelajari dari Jepang yang ditulis oleh temanku  Zay, cukup bisa membuat aku bangga pada Jepang, meskipun aku bukan warga negara Jepang (mewakili Riku dan Kai yang wn Jepang deh hehehe) :

1. KETENANGAN

Tidak satupun visual luapan kesedihan berupa memukul mukul dada atau kesedihan yang membabi buta. Kesedihan itu sendiri telah terangkat ke tempat yang lebih tinggi.

 

2. MARTABAT

Disiplin antrian untuk air dan bahan makanan. Tidak ada kata kasar atau sikap kasar. (Aduuuh aku terharu banget deh sama pengungsi yang selalu menunduk bilang terima kasih …terima kasih…. “Kami merepotkan Anda”…hiks)

 

3. KEMAMPUAN

Rekayasa yang luar biasa, misalnya. Bangunan bergoyang namun tidak rubuh.

 

4. RAHMAT

Orang hanya membeli apa yang mereka butuhkan untuk saat ini, sehingga semua orang bisa mendapatkan sesuatu.

 

5. KETERATURAN

Tidak ada penjarahan di toko-toko. Tidak membunyikan klakson dan tidak menyalip di jalan (biasanya sehari-hari juga tidak soalnya). Hanya pemahaman (pengertian-understanding).

 

6. PENGORBANAN

Lima puluh pekerja tinggal di tempat untuk memompa air laut ke dalam reaktor-N. Bagaimana jasa mereka dapat terbayar?

 

7. KELEMBUTAN

Restoran memotong harga (iya ini aku juga kagum….justru menurunkan harga loh). ATM meski lengah dari penjagaan namun tidak ada yang mengganggu. Mereka yang kuat peduli untuk yang lemah.

 

8. PELATIHAN

Tua, muda dan anak-anak, semua orang tahu persis apa yang harus dilakukan. Dan mereka-mereka melakukan yang seharusnya dilakukan (ini berkat latihan yang sudah kutulis).

 

9. MEDIA

Mereka menunjukkan pengendalian yang kuat dalam pemberitaan. Tidak ada perilaku konyol dari wartawan. Hanya reportase yang tenang dan membumi (Mereka benar-benar taat pada UU Press mereka).

 

10. HATI NURANI

Ketika daya listrik meledak (maksudnya mungkin mati lampu) di sebuah toko, orang menaruh kembali barang-barang di rak dan keluar dengan tenang!

 

Gempa dan Pendidikan

Sore tadi saya sempat berbicara di telepon dengan teman di Jakarta. Sama seperti bu Enny, dia mengkhawatirkan kondisi Riku dan Kai waktu gempa terjadi. Karena memang banyak yang tahu bahwa biasanya hari Jumat aku pergi mengajar, Kai dititipkan ke penitipan dan Riku ke sekolah. Tapi waktu gempa tanggal 11 Maret itu terjadi, aku sedang libur musim semi sehingga berada di rumah, Kai “bolos” penitipan dan Riku sudah pulang dari sekolah. Selain kondisi menguntungkan seperti itu yang memungkinan aku dan anak-anak bersama menghadapi gempa, aku memang berterima kasih sekali bahwa kedua anakku sudah tahu bahwa jika terjadi gempa mereka harus masuk ke bawah meja. Ini adalah usaha yang harus dilakukan pertama kali jika merasakan gempa. Find a shelter!

Semua penitipan, TK, SD pasti mengadakan latihan penyelamatan diri jika terjadi gempa bumi atau kebakaran paling sedikit sebulan sekali. Bayangkan saja anak-anak bayi, balita s/d usia 5 tahun yang berada di penitipan (Play Group) ini berlatih penyelamatan/pengungsian hinan kunren 避難訓練. Yang pasti mereka dilatih untuk “mendengar” gurunya. Waktu kemarin aku memesan foto-foto Kai di penitipannya, aku baru tahu juga bahwa anak-anak balita ini juga mendapat “pertunjukan” pemadaman api oleh pegawai pemadam kebakaran. Superb!

Dan latihan penyelamatan ini terpakai waktu terjadi gempa Tohoku, 2 minggu yang lalu. Dalam berita TV aku mengetahui bahwa di daerah yang kena tsunami, siswa-siswa  SMP menggandeng murid-murid SD bersama-sama berlari ke tempat yang lebih tinggi yang ditentukan pada waktu latihan. Tapi waktu sampai di tempat itu, murid-murid SMP melihat bahwa tempat itu tidak layak dipakai sebagai tempat mengungsi, jadi mereka pergi lagi ke tempat lain yang lebih tinggi. Dan…. persis mereka meninggalkan tempat itu, tsunami sudah sampai ke tempat yang ditunjuk itu. Seandainya mereka tetap mengikuti manual, dan mengungsi ke tempat itu tanpa lari ke tempat yang lebih tinggi, maka sudah bisa dipastikan nyawa mereka tak tertolong. Ah senangnya kakak-kakak SMP itu bisa mengambil inisiatif sendiri. Miracle.

Namun, meskipun demikian, banyak juga korban murid SD/SMP yang tidak sempat menyelamatkan diri, karena memang waktu itu pas waktu pulang sekolah. Mereka terbawa tsunami ketika berjalan pulang ke rumah.  Menurut Harian Asahi, korban jiwa pelajar/anak sekolah di 3 Prefektur(Iwate, Miyagi, Fukushima) sudah tercatat sebanyak 184 orang, dan 885 orang masih tidak jelas nasibnya. Sementara jumlah korban jiwa guru di ketiga prefektur tsb, tercatat 14 orang, ditambah 56 orang yg masih hilang. Menyedihkan sekali melihat upacara kelulusan sekolah-sekolah itu di pengungsian. Ada anak yang hilang, sehingga ayahnya mewakili. Dan ada anak yang tidak ada seorangpun bisa mewakili (karena satu keluarga hanyut) dan diwakili oleh foto saja. So sad!

Tapi sekolah juga merupakan tempat “pertemuan” bagi mereka yang tercerai berai. Keluarga yang kehilangan sanak keluarganya bisa mencari keberadaan sanak keluarganya di SD/SMP yang dipakai sebagai tempat pengungsian. Seandainya kami  harus mengungsi dari apartemenku, kami sudah tahu harus berkumpul di SD terdekat, yaitu SD nya Riku yang sekarang. Seperti yang pernah kutulis, di gudang SD itu menyimpan barang keperluan dalam pengungsian, termasuk WC darurat. Bisa baca di Supaya Korban Berkurang. Pada hari kelulusan itu juga pertama kali para murid bertemu beberapa temannya yang mengungsi ke tempat lain. Pertemuan mereka yang ditayangkan di TV bisa membuat kami yang menonton merasa lega. Relief!

Jumlah sekolah yg rusak akibat gempa/tsunami di 3 Prefektur tercapai sampai 1,722. Jika ditambah kerusakan sekolah akibat gempa bumi di Prefektur Nagano, dan Prefektur Shizuoka, jumlah total di 24 prefektur konon tercapai sampai 6,253. Sementara sebanyak 436 sekolah masih dipergunakan sebagai tempat pengungsian di 8 prefektur.

Pendidikan pasca gempa tetap dilaksanakan terus. Riku memang sejak tanggal 25 Maret lalu memasuki libur musim semi. Tahun ajaran baru akan dimulai tanggal 6 April untuk SD, dan untuk TK tanggal 8 April. Seharusnya aku juga mulai mengajar di universitas Waseda tanggal 7 April, tapi akhir minggu lalu, aku mendapat email pemberitahuan bahwa kuliah semester genap di dua universitas tempat aku mengajar diundur sampai akhir April (kira-kira undur 1 bulan). Alasannya? Pemadaman listrik bergilir yang berimbas pada transportasi, juga akan berimbas ke masalah internal seperti penyediaan kelas dan lain-lain. Gen yang juga bekerja di universitas mengatakan, “Di universitas kami yang paling mengganggu jika terjadi pemadaman listrik adalah pemakaian WC. Ada beberapa WC yang memakai sensor untuk flush, dan itu berarti butuh listrik. Belum lagi pompa distribusi air juga memakai listrik. Jadi jika listrik mati, payah deh….”

Well, Jepang memang sudah begitu modern, sehingga jika ada satu yang tidak bisa terpenuhi, semua akan tertatih-tatih untuk menyesuaikan lagi. Untuk hal ini mungkin Indonesia lebih canggih. Lebih canggih karena tidak modern 😀 Yang pasti Indonesia tidak perlu listrik untuk buang hajat di kakus hehehe….

oh ya…. posting ini adalah posting yang ke 900!!! yipppieee….

 

Magnolia

Di dekat rumahku ada sebuah lahan yang dipakai sebagai lahan parkir dan di pinggirnya ada satu pohon yang gundul. Bukan pohon mati, tapi dia akan berbunga putih yang cukup besar menjelang musim Semi. Pertama kali aku melihat bunga itu memang aneh, karena sama sekali tidak ada daunnya. Daunnya tumbuh setelah bunganya habis. Sama seperti sakura. Dan waktu itu Gen berkata, “Kalau melihat bunga itu, senang rasanya karena sebentar lagi musim semi tiba, dan itu berarti menjadi hangat”.

Bunga itu bernama Mokuren 木蓮 (dari kanjinya terlihat artinya adalah teratai di pohon) , dan bahasa latinnya adalah Magnolia Heptapeta (yang putih). Aku baru tahu bentuk bunganya ya di Jepang ini, padahal nama Magnolia itu sering kubaca di sabun-sabun Indonesia. Karena bunganya putih pertama kupikir itu Gardenia, tetapi ternyata salah. Gardenia juga berbunga putih tapi nama latinnya Gardenia Jasminoides. Lihat namanya saja sudah tahu bahwa Magnolia dan Gardenia tidak “sodaraan”. Kalau Gardenia aku selalu ingat iklan obat rambut (shampo atau apa ya aku lupa) jaman dulu. Tapi yang aku tahu setelah obrak abrik rumah om Google, ternyata kedua bunga ini asalnya dari China.

Pohon Magnolia di lahan parkir dekat rumah

Benar sekali perkataan Gen bahwa kalau melihat bunga Magnolia berarti hari menghangat. Hari ini memang hangat, bahkan terasa panas untuk kami bertiga yang masih memakai jacket down hari ini. Dalam rumah jauuuh lebih dingin daripada di luar. Hari ini ceritanya aku mau mengajak kedua anakku untuk pergi ke Kichijoji dan makan cake/sweets  all you can eat. Riku sudah mulai libur Spring Vacation hari ini. Tapi ternyata setelah sampai di Kichijoji, resto all you can eatnya tidak ada! Mungkin sudah pindah, dan aku tidak catat nomor teleponnya. Ya sudah, akhirnya kami makan siang di Mac D. Tentu saja mereka senang sekali (lebih senang daripada temanin mamanya :D).

Ternyata sudah 2 minggu berlalu dari nightmare, mimpi buruk di siang hari. Seminggu terakhir ini rasanya memang cepat berlalu, mungkin karena semua kegiatan sudah pulih seperti semula. Kereta juga sudah beroperasi meski jumlah trayeknya dikurangi. Gen juga sudah bisa mengisi bensin fulltank (dulu kan dijatahin 2000-3000 yen saja)  meskipun sekarang harga bensin per liter melangit lebih dari 150 yen  (pasti gara-gara libya nih 😀 ).

Kemarin aku juga sudah belanja sampai ngamuk, bukan membeli bahan pokok, tapi malah membeli snack dan beberapa bahan frozen. Di rak supermarket sudah ada banyak telur, susu, roti, tahu (tapi belum ada Natto) dll. Tapi biasanya dibatasi perorang hanya boleh membeli dalam jumlah tertentu. Dan apalagi dengan adanya isu kenaikan kadar iodine 131 naik dalam air ledeng, maka air mineral botol tidak ada. Padahal aku masih bisa ambil air RO gratis….. (Pas hari ini aku pergi ambil RO Water itu, ternyata sudah dibatasi juga satu orang hanya boleh isi 1 kali 4 lt). Dan larangan untuk memakai air ledeng untuk bayi pun sudah dicabut, karena kadar iodine 131 nya sudah kembali normal, jauh di bawah standar konsumsi bayi.

Kehidupan sudah berjalan normal, dan terus terang aku sudah tidak menonton TV lagi. Kalau perlu info aku sesekali membuka homepage NHK, atau koran online Asahi. Bukannya tidak mau tahu, tapi tidak mau menjadi panik. Ada pula satu orang Jepang dalam list FB ku yang cenderung memberikan informasi yang negatif-negatif  saja. Aku tahu dia benci dengan negara Jepang, jadi selalu cari kesalahan negaranya terus. Kesal juga setiap membaca status dia. Akhirnya aku hide saja dia, karena….. aku mulai menjadi panik.

Ya entah kenapa, mungkin memang sudah limitnya, sejak kemarin sore aku menjadi panik sendiri. Menjadi sedih dan sensitif. Butuh sekali untuk bertemu dan bicara dengan orang lain. Pasti pengaruh hormon deh nih hihihi. Udah gitu, sampai jam 1 malam Gen belum pulang. Mulai mikir macam-macam, persis seperti tulisan Putri di Ketika Papa Terlambat Pulang. Dan sekitar jam 1:30 Gen kucluk-kucluk masuk dan berkata, “Akhirnya satu deadline selesai”…. iya sih, tapi kasih tau dong 😦 Pas aku lagi sensitif soalnya.

Mungkin karena aku pasang foto kami berempat-saudara kemarin. Mungkin karena Riku sudah masuk liburan dan aku sebetulnya bisa pulang sebentar kalau saja ada tiket dan uang lebih:( Mungkin karena aku selalu berusaha tenang dan tidak panik……Dan sejuta kemungkinan yang lain 😦

Berbagai peristiwa sejak dua minggu yang lalu ini semua menguji kekuatan syarafku dan tampaknya aku perlu mengistirahatkannya sejenak. Benar aku ingin berlari saat ini…… Bosan aku dengan penat

.

.

Kulari ke hutan kemudian menyanyiku
kulari ke pantai kemudian teriakku
sepi, sepi dan sendiri
aku benci

Aku ngin bingar
aku mau di pasar
bosan aku dengan penat
dan enyah saja kau pekat
seperti berjelaga
jika ku sendiri

Pecahkan saja gelasnya
biar ramai
biar mengaduh sampai gaduh

Ah…ada malaikat menyulam
jaring laba-laba belang
di tembok keraton putih
kenapa tak goyangkan saja loncengnya
biar terdera

Atau aku harus lari ke hutan
belok ke pantai ………

(Puisinya AADC)

Maret Ceria

Ya, akhir-akhir ini aku blogwalking dan mengetahui bahwa ada beberapa blogger mengikutsertakan foto kakak-beradik dalam posting mereka untuk ikut dalam lomba Maret Ceria yang diadakan Mama Cal-Vin. Namun karena aku belum pernah sowan ke blog Mama Cal-Vin ini, rasanya kurang sreg untuk ikut acara ini. Lagi pula bulan Maret ini rasanya bukan Maret yang Ceria untuk kami yang berada di Jepang dengan berbagai musibah yang terjadi.

Tapi…. tentu saja aku punya foto kakak beradik de’Coutrier yang ingin aku pamerkan di sini. Foto yang diambil 18 tahun yang lalu, di Puncak.

Sesuai urutan, aku paling atas, Novita, Tina dan Andy

Awal kami berpencar dengan kepindahan tugas papa (beserta mama dan Andy)  ke London th 1989. Papa kembali ke Jakarta, tak lama aku ke Jepang, disusul Novi ke Australia. Novi kembali, Tina ke Jepang dan Andy ke Singapura. Sampai akhirnya aku dan Tina sekarang di Jepang, sedangkan Novita dan Andy di Jakarta.

Meskipun kami sering berpencar dan terpisahkan oleh jarak, tapi hati kami berempat selalu satu. Sama seperti kali ini, saat Jepang dilanda gempa, kami bisa cepat berhubungan dan saling menguatkan bahwa semua masalah pasti bisa diselesaikan. Tidak ada di antara keluarga inti (Papa, Mama, Novi, Andy) kami ini yang memaksa aku dan Tina untuk mengungsi ke Jakarta. Pengertian itulah yang selalu menguatkan kami. I miss all of you! de’Coutriers. Aku musti bersabar untuk bisa bertemu muka dengan kalian lagi. Tentu saja di mtb28 😉

 

 

Persiapan ala Imelda

Sebelum mulai bercerita aku ingin sharing tulisanku tadi siang:

“jika bibirku matirasa akibat ciumanmu, aku tak mengapa… tapi….”

Ya… bukan mau romantis-romantisan sebetulnya. Itu aku tulis karena bibirku DOWER, bebal terus sampai 3 jam lebih! Bukan karena dientup lebah sih (apalagi dicium cowok ganteng) , tapi karena dibius oleh pak dokter gigi. Ceritanya tambalan gigiku mau diganti, atas bawah sekaligus, jadi mungkin dia takut aku kesakitan, dibius deh. Gebleknya lagi setiap selesai menggerus tambalan lama, dia suruh kumur-kumur kan. Nah bagaimana bisa kumur-kumur benar kalau bibir kiriku kaku begitu. Yang ada air kumuran muncrat ke lantai hahaha.

Padahal tadi siang aku beli Pizza tuh, memenuhi permintaan Riku. Dia besok terima rapot dan masuk liburan. Aku juga malas masak lunch karena biasanya dia makan di sekolah. Tapi hari ini dia pulang jam 12:15 jadi tanpa makan siang bersama. Gara-gara bibir dowerku ini, aku tidak bisa enjoy Pizzanya.

Ok stop soal bibir…. sekarang masuk ke masalah sebenarnya.

Memang orang-orang di Indonesia ribut semua soal radiasi akibat PLTN yang masih belum selesai juga masalahnya. Padahal sebetulnya jumlah/kadar  radiasi yang terkandung dalam udara di atas Shinjuku Tokyo itu masih sangat kecil. Jauuuh lebih besar kadar radiasi yang diterima dalam penerbangan Tokyo-New York pp. Jadi tidak usah khawatir, karena toh Tokyo berada 250-300 km dari Fukushima. Lagipula jika terjadi penyebaran radiasi lewat udara, masih bisa ditanggulangi dengan mandi, mencuci pakaian keseluruhan, dan memakai masker/baju lengan panjang.

Tapi memang yang harus diperhatikan penyebaran radiasi lewat makanan, karena bisa langsung masuk ke dalam organ tubuh. Itu adalah radiasi yang menempel pada produk sayur/ladang dari daerah sekitar Fukushima. Ini memang sudah aku pikirkan juga sejak mendengar masalah di PLTN Nuklir ini. Sudah sejak seminggu lalu itu aku berpikir soal bayam dan sayuran lain. Karena itu waktu minggu lalu aku belanja dan melihat bayam hasil ladang tetangga, aku langsung beli. Cuci dan rebus sebentar. Tiriskan dan masukkan plastik untuk dimasukkan di freezer. Sayangnya kurang banyak belinya 😀 Jadi sekarang sudah habis hehehe.

Kandungan bahan radiaktif/radiasi di daerah Fukushima dan sekitarnya itu memang lebih tinggi dari biasanya. Padahal jika kita mencuci sayur tersebut dan memakannya satu/dua kali tidak akan berpengaruh pada kesehatan, tapi standar kesehatan makanan Jepang tinggi sekali maka pemerintah melarang peredaran beberapa sayur dan susu, hasil bumi Fukushima antara lain bayam, kolbrokoli, kol kembang–yg berasal Prefektur Fukushima, dan susu sapi dan sayur peterseli yg asal Prefektur Ibaraki.

“Mensesneg Yukio Edano, menyangkut hasil pertanian yg terkontaminasi radiasi, dalam jumpa pers, mengumumkan ttg pembatasan peredaran. Yakni sebanyak 13 jenis sayur-sayuran + susu sapi dari Prefektur Fukushima, sebanyak 4 jenis sayur dari Prefektur Ibaraki, sebanyak 2 jenis sayur dari Prefektur Tochigi, juga 2 jenis sayur dari Prefektur Gunma.”

Jadi tentu saja ada hasil sayuran dari prefektur lain yang menggantikan rak-rak sayur di toko-toko dan supermarket. Selama kita tidak membeli produk dari daerah itu (yang sudah pasti tidak beredar lagi) tentu saja aman membeli bayam dari daerah lain. Tapi ya begitulah secara psikologis, warga sudah “takut” pada bayam, jadi tidak berani membeli. Seperti yang Nesta juga katakan padaku, “Mbak, aku tadi masih ngeliat bayam di toko sayuran, tapi numpuk gitu..seperti orang-orang takut mo beli bayam kali ya..hihi”

Langsung kujawab: “waaaahhh mustinya kamu beli Nes, apalagi kalau itu dari kyushu, krn g terkontaminasi dr Fukushima, ibaraki, chiba. Kalau dr selatan, mending beli, trus cuci lama2 dibawah air keran. rebus sebentar, tiriskan lalu masukkan freezer. sip tuh. Cara ini jg bisa utk brocoli, sawi. Daun bawang diiris tipis2 masukin feezer.”

Jangan takut dan curigaan ah, karena aku yakin pemerintah Jepang tidak akan ngapusin, merekayasa angka-angka yang berkaitan dengan kesehatan orang Jepang. Karena mereka juga tidak mau dituntut kelak. Membayar ganti rugi pada rakyat dengan merekayasa angka itu akan jauuuuh lebih besar daripada kerugian saat ini. Semoga besok aku masih melihat bayam di rak toko, dan membelinya 😀

Tapi hari ini  memang ada pengumuman ini dari KBRI Tokyo,

“Perhatian bagi WNI di Tokyo 23-ku, Musashino-shi, Mitaka-shi, Machida-shi, Tama-shi dan Inaba-shi: agar tidak menggunakan air yang bersumber dari keran untuk keperluan konsumsi balita, khususnya bayi. Pemerintah Metropolitan Tokyo hari Rabu 23/3 telah mengumumkan bahwa salah satu sumber airnya telah terdeteksi radioaktif Iodine 131 sebesar 210 Bq/kg, melebihi batas 100 Bq/kg yang diperbolehkan untuk balita/infant.”

Jadi memang air minum dari keran sudah terkontaminasi, tapi kandungan 210 Bq/kg itu masih dibawah batas yang dikonsumsi orang dewasa yaitu 300 Bq/kg. Masih AMAN!

Tapi sudah pasti dong, terjadi pembelian mineral water besar-besaran di Tokyo, karena semua jadi takut minum air keran. Imelda? Belum beli, karena sebenarnya sejak gempa terjadi, aku belum pernah melihat botol air mineral di rak toko. Ntah di sekitarku saja atau aku yang “kesiangan” ke tokonya hehehe. Tapi…aku ada sedikit cadangan air aman. Jadi setelah terjadi gempa, aku selalu mengisi penuh bak mandi dan mesin cuci dengan air keran. Selain itu semua botol plastik yang aku punya, aku isi dengan air keran matang. Ini adalah standar persiapanku untuk menghadapi gempa. Sayang biasanya aku suka membeli air mineral botolan dalam dus, tapi kebetulan pas gempa terjadi benar-benar kosong.

Jadi mumpung masih dalam batas wajar untuk orang dewasa, aku terus mengisi botol kosong dengan air keran matang (yang sudah direbus dan didinginkan). Untuk Kai aku berikan air RO yang diambil dari supermarketku. Semoga besok aku bisa mengambil air RO dan tidak antri hehehe.

Memang kalau bayi minum air yang mengandung kadar iodine-131 tinggi, apa akibatnya pada tubuh? Menurut Dr Novi, adikku, iodine memang larut di air, jadi tidak hilang dengan merebusnya. Dan jika dikonsumsi banyak akan ditimbun di badan dan menyebabkan pembengkakan kelenjar tiriod (amandel).

Nah, aku memang kasihan pada bayi yang memang harus minum air susu botol (bukan ASI—dulu Riku dan Kai juga pakai susu botol, karena ASI-ku tidak keluar). Tapi memang dulu aku juga sering membeli air khusus untuk bayi. Konon mineral water juga tidak baik untuk bayi karena ada tambahan-tambahan mineral yang tidak baik jika banyak dikonsumsi bayi. Cocoknya memang RO water deh.

Tapi mendengar berita di bawah ini aku jadi lega juga. Pasti deh pemerintah dan pemerintah daerah memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu. Aku yakin juga misalnya seandainya loh, terjadi warga Tokyo tidak boleh minum air keran, akan ada pembagian air kepada seluruh warga.

Pemkot Tokyo, tgl 24 Mar.2011 akan membagikan air botol (550 mm liter) sebanyak 240 ribu botol kepada keluarga yg punya bayi berusia bahwa 1 tahun sebanyak 80 ribu orang. Setiap keluarga dibagi 3 botol melalui kantor distrik, kantor walikota, dan kantor kecamatan dsb. Pembagian direncanakan akan terus dilaksanakan sehingga Pemkot Tokyo telah minta peningkatan produksi kepada para produsen.

Jadi yang mau kutulis di sini sebenarnya adalah:  Siapkan terus air minum cadangan dan usaha menyimpan sayur dan bahan makanan lain yang siap olah dengan memanfaatkan freezer. Aku bahkan sudah sempat menggoreng dendeng, ikan teri dan ikan asin sebagai lauk jika terjadi pemadaman listrik/gas di wilayahku. Dengan adanya rencana pemadaman listrik bergilir sebetulnya membuat kita juga tetap waspada. Aku selalu siap dengan nasi dan lauk yang bisa dimakan kapan saja. Dan sebagian sudah aku masukkan ke dalam tas “pengungsian” tas yang selalu kami persiapkan jika harus mengungsi yang isinya: Baju dalam, kaus kaki, radio untuk mendapatkan informasi, batere, senter, gunting, band-aid, kapas, cairan sanitizer, pembalut wanita, tisu basah, nasi tahan lama, alumunium foil untuk penghangat badan dll. Khusus untuk radio  sekarang selalu masuk tas sehari-hariku. Tas ini selalu ada di dekatku dan sebelum tidur pasti aku taruh di atas kepala. Gempa susulan masih cukup sering terjadi tadi pagi …. semoga semakin berkurang deh.

Yang penting jangan terbawa emosi, pakai akal untuk mengantisipasi keadaan terburuk. Tetap tenang. Tak ada telur, ya jangan buat kue. Tak ada susu, ya jangan makan pagi cereal. Tak ada roti ya makan nasi (wah konsumsi nasi keluargaku pasca gempa bener-bener meningkat loh, mungkin aftershock effect ya hehehe. Udah gitu makannya nasi +ikan asin +sambal hahaha…. untuk teman di Indonesia pikir iiiih kok makan murah, tapi buat kami di sini ikan asing dan sambal adalah makanan mewah wah wah deh)

“Tak ada rotan akarpun jadi”. Kita kan sudah punya peribahasa itu.  Bayangkan pengungsi yang sekarang tidak punya apa-apa, bahkan makanpun musti menunggu pengasihan orang 😦 Kita musti selalu bersyukur bahwa kita masih bisa makan dan tidur di tempat hangat.

Aku tutup posting hari ini sambil berdoa semoga aku bisa tetap tenang dan tidak panik dalam keadaan apapun juga. (karena parno bin panik itu amat mudah menular loh!)

 

 

Back to Work

Hari ini aku harus pergi ke “kota” Tokyo (rumahku kan di desanya Tokyo hehehe) untuk menunaikan satu kerjaan yang sudah dikejar-kejar seperti yang aku ceritakan di posting sebelum ini. Aku harus berada di studio itu pukul 11:30, dan aku pikir 2 jam cukuplah waktu untuk menuju ke sana, mengingat transportasi Tokyo terpengaruh penghematan listrik. Kalau dalam kondisi biasa, 1 jam juga cukup sih.

Tapi hari ini hujan, sehingga pasti traffic juga lebih padat dari biasanya. Dan… brrr dingin euy. Aku pergi dengan Kai naik bus ke stasiun dekat rumah. Setelah aku titipkan Kai di Himawari (tempat penitipannya), aku naik bus ke stasiun Kamishakujii. Dari stasiun ini memang lebih dekat untuk ke dalam kota, ketimbang memakai line dekat rumahku. Cuma memang harus banyak ganti kereta.

Tujuanku Akasaka, sebuah tempat pusat perkantoran dan kedutaan negara Asing. Mungkin yang tahu Roppongi, ya di dekat situ deh. Dan satu-satunya transportasi kereta ke arah sana adalah subway. Padahal aku BENCI subway. Sudah hampir 10 tahun aku tidak naik subway sendiri (kadang kalau terpaksa sekali dan jarak dekat kalau ada temannya sih bisa). Jadi aku harus mencari jalan lain untuk ke sana. Dan aku tahu, aku bisa naik bus dari Shibuya, lalu jalan kaki. Salahnya aku tidak bawa peta, dan hanya mengandalkan GPS dari HP. Tapi akhirnya ketemu juga kok, dan aku sampai pukul 11:15.

Langsung masuk studio, dan selesai dalam 10 menit…hahaha perjalanannya lebih lama dari kerjanya. Waktu keluar studio, Alex sudah menunggu, dan dia mau memberikan tumpangan naik mobilnya sampai Shibuya. Asyiiik…kupikir, tapi…mumpung aku sedang berada di Akasaka, aku mau mampir ke tempat kerjanya Whita di Gedung yang namanya Izumi Garden. Dia bekerja di restoran Indonesia, Wayang Bali. Jadi aku minta diturunkan di sekitar jalan Roppongi saja pada Alex.

Dasar orang Eropa yang gentleman, dia memaksa untuk mengantarkan aku sampai di depan gedung. Masalahnya dia tidak tahu juga di tepatnya Roppongi 2 chome hihihi. Jadi deh kita muter-muter, tanya pada pak polisi, lalu ketemunya karena tanya pada supir taksi. Cukup pusing juga aku dibuatnya, karena mobilnya mobil Amerika, aku duduk di sisi kanan. Seperti duduk di tempat supir tapi tidak menyetir. Mabok deh.

Ok, ketemu akhirnya Gedung Izumi Gardennya. Wah mencolok begitu, dan mentang-mentang namanya Garden, kaca gedungnya berwarna hijau rek. (waktu gempa gimana ya? Ngga pada ketakutan ya? hihii)

foto dari developer sumitomo

Nah… masalahnya aku tidak tahu restorannya berada di lantai berapa. Meskipun setelah cari-cari aku tahu berada di lantai 2. Jadi kupikir yang penting aku naik eskalator deh. Nah waktu aku masuk tempat tangga eskalator itu, aku hanya lihat tangganya tidak berjalan. Hmmm ya sudah jabanin aja. Dan aku salah besaaaaaar banget, tidak memandang ke UJUNG tangga itu ada di mana. Astaganaga……. puanjaaaaaaaaaaaang banget itu eskalator. Dan pernah ngga ya naik tangga jalan berhenti? Tangga jalan berhenti itu lebih berat daripada tangga lantai biasa loh. Kalau ada tangga biasa, aku pasti naik tangga biasa. Tapi karena cuma melihat di situ satu-satunya yang ada hanya eskalator ya terpaksa deh…

Benar-benar megap-megap deh. Udah lapar, tadi waktu cari studionya juga sudah keliling-keliling Akasaka. Hampir putus asa tengah jalan. PANTESAN tidak ada orang lain yang naik tangga itu hahaha, aku baru sadar setelah ada cewe-cewe yang turun berbondong-bondong sambil berkata: “hiii ngeri ya kalau eskalator sepanjang ini tidak jalan”. Huh! Aku berusaha untuk tidak memandang ke belakang. Kalau tidak aku tidak akan bisa sampai ke atas alias pingsan. hihihi

Sesampai di atas, yey kupikir sudah aman, tapi aku terkaget-kaget melihat lift di situ dan tertulis “Di sini lantai 7” …. whaaatt????? Aku naik sampai tingkat 7 tanpa henti tadi itu? (3 tingkat karena katanya sih awalnya lantai 4) waaahhhh pantes megap-megap hahaha.

Ok deh setelah itu aku cari lagi cara untuk turun, tapi jangan eskalator yang sama. Ternyata oh ternyata, eskalator yang ada dalam gedung itu jalan bo…. paling sedikit dari lantai 7 ke lantai 4. Nah, sesudah itu aku muter-muter deh nyari bagaimana caranya untuk ke lantai 2. Benar-benar tersesat di dalam gedung luas. (Aku juga gengsi nanya sih :D)

Dan…akhirnya aku ketemu juga sih restoran Wayang Balinya. Kelihatannya unik dengan interior ala Bali. Tapiiiii. yang antri juga banyak 😀 Lihat jam sudah pukul 12:30, memang jam makan sih. Dan kalau aku makan di resto itu paling sedikit butuh waktu 1 jam. Padahal Riku pulang pukul 2 siang dan dari situ ke rumah makan waktu 1,5 jam. Dan yang terparah batere HPku tinggal 1 strip. Gawat! Aku takut jika Riku telepon aku dan aku tidak bisa angkat, dia menjadi panik. Ya sudahlah kupikir, belum nasibku untuk bisa makan siang dan bertemu Whita hari ini. Cepat-cepat aku naik taksi, kereta dan bus pulang ke rumah. Sampai di rumah pukul 1:55…. safe!

Dan aku merenung, dulu itu kerjaanku ya begitu, ke sana kemari menyelesaikan “panggilan” kerjaan di mana-mana. Aku sampai hafal rute subway dan kereta, sampai adik Jepangku, Kimiyo sering menelepon aku untuk tanya harus naik apa kalau mau ke suatu tempat. Aku juga hapal gerbong nomor berapa yang terdekat tangga ganti kereta untuk menyingkat waktu. Tapi sekarang? hehehe sudah uzur juga sih 😀

Dan aku menyadari juga bahwa Tokyo memang BUTUH listrik yang banyak. Untuk transportasi, untuk gedung, untuk keamanan (lampu lalu lintas dsb). Tokyo amat sangat tergantung pada listrik. Tanpa ini semua perekonomian akan berhenti. Cuma memang bisa dihemat, yang tidak perlu bisa dimatikan.

Kapan ya aku bisa lunch di Wayang Bali? Semoga deh….

foto dari website Wayang Bali

Besokpun Kami Tunggu

Ashitamo omachishiteimasu“, adalah frase yang tertulis dalam mangkok ramen (mie kuah) yang kami makan. Tulisan itu baru terbaca jika kita sudah menghabiskan setengah mangkuk ramen itu. Hmmm sebuah iklan atau usaha pemasaran yang cukup menarik. Karena semua mangkuk restoran itu tertulis demikian, dan tidak “shitsukoi“, tidak “memaksa”, tidak “keterlaluan”.

Ashita mo omachisiteimasu.... iklan terbenam ramen hehehe

Ya sejak kejadian gempa Tohoku itu, ada beberapa kata bahasa Jepang yang dianggap “shitsukoi“. Pertama adalah kata “Gambattekudasai“. Memang kata gambattekudasai ini bagus untuk memberikan semangat, tapi dalam situasi seperti sekarang ini rasanya pengungsi juga tidak tahu mau gambaru bagaimana lagi. Sesekali mungkin boleh, tapi jika terlalu shitsukoi/ memaksa begitu esensi kata itu sendiri menjadi hilang. Mereka (pengungsi) juga bisa lelah jiwa dan raga. Karenanya ada seorang yang menyampaikan pesan begini, ” Saya tidak akan pakai kata Gambatekudasai, tapi Amaete kudasai. Ya bermanjalah pada kami kali ini. Kami akan berusaha sekuat tenaga membantu kalian. Kami ingin melihat kalian sehat dan tersenyum kembali……”

Ah, suatu pesan yang begitu mengharukan. Ya, bermanjalah selama masih bisa bermanja. Orang Jepang terkenal tidak mau bermanja pada orang lain, sehingga terlalu memaksakan diri. Mungkin inilah (sikap terlalu memaksakan diri) yang menghubungkan dengan tingkat bunuh diri yang begitu tinggi di Jepang juga. Mereka tidak biasa bermanja pada orang lain.

Kali ini pemerintah Jepang juga mulai membuka diri, “bermanja” pada negara lain. Aku baru tahu bahwa waktu gempa di Kobe 16 tahun lalu, pemerintah Jepang menolak bantuan dari luar negeri, dan mengatakan bahwa “Kami bisa mengatasinya sendiri”. Tapi untuk gempa Tohoku kali ini, pemerintah membuka dirinya terhadap bantuan negara lain. Dan terus terang itu bagus. Dalam hubungan antarmanusiapun adakalanya kita menjadi pihak kuat yang memberikan bantuan terus menurus, tapi dengan kita menjadi korban, dan menerima bantuan serta perhatian dari orang lain, saat itu juga kita mengetahui dan merasakan hubungan yang lebih intim.

Kata kedua yang juga dirasakan shitsukoi saat ini adalah “Gokyoroku onegaishimasu“, yang diteriakkan di stasiun-stasiun, pusat pertokoan dan di depan gedung-gedung terkenal. Meminta sumbangan dengan berbaris dan memegang kotak dana. Memang tidak memaksa seperti kegiatan beberapa oknum di Indonesia yang sampai menghentikan mobil di tengah jalan untuk meminta sumbangan pembangunan rumah ibadah, tapi suasana seperti ini memang jarang terjadi di Jepang. Kegiatan ini dilakukan per kelompok dan tidak pernah hanya sendirian/2-3 orang saja. Minimum 10 orang, sambil juga mengucapkan terima kasih pada orang yang baru memasukkan uang ke kotak. Hmmm risih juga rasanya. Well, selama bisa mengumpulkan banyak dana, tidak apalah.

Gempa bumi kali ini memang yang terbesar dalam sejarah Jepang. Perlu banyak dana untuk membangun kembali kota-kota dan infrastruktur yang hancur akibat tsunami. Dan dari koran pula kami mengetahui betapa banyak orang (baca artis dan orang terkenal) yang concern pada keadaan pengungsi. Aku cukup kaget membaca seorang mantan pembawa acara TV yang terkenal menyumbangkan 200juta Yen sebagai sumbangan pribadi untuk kegiatan penggalangan dana gempa Tohoku ini. Wah, pembawa acara bisa punya uang “lebih” sebanyak itu ya…. (Lalu dijawab mertuaku, dengan memberikan uang sumbangan, dia juga tidak usah bayar pajak banyak atas hartanya kan, hehehe iya juga sih)

Hari Minggu lalu, kami sekeluarga pergi ke misa pukul 12 siang di gereja Kichijoji. Naik bus dari rumah kami, sudah cukup banyak orang yang bepergian dengan bus, sehingga kami menunggu kedatangan bus berikut, supaya bisa duduk. Kami sampai di gereja 10 menit sebelum misa dimulai.

Dalam misa kami mengetahui bahwa ternyata gereja kami itu dipakai sebagai tempat penampungan 40 orang Filipina dari daerah bencana. Sebagian dari mereka akan pulang ke negaranya, dan sebagian akan ditampung di tempat lain. Tapi untuk sementara mereka datang menginap di gereja selama 2 malam. Untung saja gereja memiliki pengurus dari umat, sehingga proses penampungan dan persiapan logistik mereka dapat tercukupi. Jadi selain kegiatan penggalangan dana untuk korban Gempa yang disalurkan melalui Caritas Jepang, umat juga dimohon bisa membantu penyediaan logistik/finansial pengungsi yang mungkin juga akan datang lagi.

Selesai misa, kami mampir makan di sebuah rumah makan di samping toko sate minggu lalu. Kami baru pertama kali ke situ, dan tempatnya cukup bagus. Karena selama seminggu kami juga berhemat, dan aku tidak bisa berbelanja bahan makanan mentah, kami memilih makan sashimi (ikan mentah). Perlu diketahui bahwa harga makanan di restoran Jepang, berbeda harganya antara lunch dan dinner. Aku rasa hampir semua restoran di Luar Negeri (selain Indonesia) semua begitu ya? Untuk lunch di restoran biasanya maksimum 1000 yen, sedangkan kalau dinner sulit untuk bisa 1000 yen. Kalau di Tokyo per orang budget untuk dinner minimum 3000 yen.

Sambil makan, Gen bertanya apakah kita bisa pergi ke Yokohama, rumah ayah ibunya. Naik kereta memang lebih dekat dari Kichijoji. Aku sih tidak apa-apa, meskipun aku sudah tahu kalau pergi ke Yokohama, kami ada kemungkinan besar harus menginap 😀 (Senin adalah hari libur Equinox di Jepang). Rencananya memang selalu pulang hari, tapi…. suamiku ini biasanya tertidur dan akhirnya kemalamam, dan akhirnya terpaksa menginap hehehe.Tapi kupikir tidak apalah, toh rumah sudah dikunci dan tidak ada yang harus ditangani dalam waktu dekat (bisa menunggu sampai esoknya)

Jadi begitulah, kami pergi ke Yokohama melalui Shibuya. Pertama kali aku keluar sampai Shibuya sesudah gempa. Aku juga ingin tahu bagaimana sih keadaan kota saat ini. Ternyata? …semua teram temaram 😀 Ya semua menghemat listrik, sehingga peron hanya separuh lampu dinyalakan. Pintu masuk peron otomatis juga hanya berfungsi separuh. Lampu-lampu iklan/ billboard tidak dinyalakan. Lampu dalam kereta juga tidak dinyalakan, kecuali waktu melewati terowongan. Toko-toko selain tidak menyalakan semua lampu juga tidak memasang heater. Semua berhemat, dan kupikir itu baik adanya. Karena selama ini Tokyo TERLALU BOROS dengan pemakaian listrik.

Karena hari Minggu, maka kereta yang dioperasikan juga hanya kereta lokal, yang berhenti di setiap stasiun. Tidak ada kereta ekspress. Bagi yang bepergian jauh pasti butuh waktu dua kali lipat dari biasanya. Jadi kupikir bagus juga deh, dengan kondisi seperti ini memaksa orang Jepang juga untuk slowdown, tidak usah lari-lari 😀

Selama di rumah mertua, kami benar-benar bisa relaks. Rumahnya juga lebih luas dari apartemen kami, sehingga anak-anak bisa berlarian dan … teriak-teriak :D. Bapak mertua juga memasang video dan program TV yang BUKAN berita sehingga memaksaku juga untuk mengistirahatkan otak. Aku juga enjoy menonton film Peter Pan yang direkam oleh bapak mertua khusus untuk cucu-cucunya. Program televisi mengenai seorang wanita Inggris yang tinggal di Kyoto. Rumah khas Jepang tapi dikelilingi dnegan kebun Inggris. Wah benar deh, kebun Inggris itu benar-benar penuh dengan bunga dan  kehijauan yang berbeda dengan taman Jepang.

Dan yang pasti, semalam menginap di rumah mertuaku itu membuatku juga beristirahat dari masak hehehe. Sebelum kembali ke rumah hari Senin malam itulah kami makan ramen di Kichijoji. Meskipun tidak seperti Bakmi GM, cukuplah untuk melengkapi hari libur kami. Dan perjalanan kami naik kereta juga cukup bisa menghibur kami. (Belum bisa naik mobil, karena sulit bensin nih 😀 bisa hemat BBM deh)

Oh ya. Besokpun Aku Tunggu kehadiran teman-teman semua di TE yah 😀