Pasar Tradisional

Biasanya aku pulang kampung ke Jakarta tidak pernah kurang dari 21 hari dan itupun biasanya sudah dipenuhi rencana ini itu. Sibuk!Dan memang rasa rindu terhadap kehidupan di Jakarta rasanya tidak pernah bisa cukup dituntaskan dalam satu bulan saja. Tapi tidaklah demikian dengan kepulanganku ke Jakarta pada waktu Natal dan tahun baru kemarin. Waktu liburan yang hanya 2 minggu sengaja kubuat tidak penuh dengan rencana-rencana. Karena itu waktu adikku berkata, “Mel, kamu pergi tuh ke pasar Mayestik. Udah baru loh, bagus tidak seperti dulu. Ya jalannya sih masih kotor, tapi pasarnya sendiri sudah bagus!”, aku langsung tertarik.

Akhirnya aku pergi mengajak asisten rumah tangga si Anna untuk pergi bersama. Tujuannya tentu saja supaya dia yang menjadi guide aku sambil berbelanja. Karena terus terang aku sudah berpuluh tahun tidak ke pasar tradisional! (Mungkin 20 tahun lebih karena aku sudah 20 tahun di Jepang…..)

Gedung pasar dilihat dari luar, dan tokonya Ahin (Padahal ada namanya tuh, Gunung Mas :D)

Tapi…. aku senang waktu memasuki bangunan yang memang baru dan lumayan bagus itu. Masih bersih dan karena masih pagi (jam 8:30) belum banyak orang yang belanja. Senang melihat sebuah toko “Ahin”, tempat duluuuu sekali mama selalu berbelanja. Sayang aku juga tidak banyak waktu jadi tidak masuk ke dalam toko itu. Aku sebetulnya ingin sekali melihat apakah si bos Ahin itu masih bersinglet seperti dulu 😀 Tapi Toko Ahin itu menjual barang-barang yang pasti berat untuk dibawa-bawa, macam beras, makanan kaleng, emping, dsb dsb, jadi kupikir kalau mau mampir lebih baik pulangnya saja. (Dan akhirnya tidak jadi mampir sih…)

Setelah menuruni tangga dan slope berputar-putar akhirnya kami sampai di lantai bawah tempat pasar sebenarnya 😀 Alias pasar becek menurut Krismariana yang semestinya bau! Tapi itu dulu sih, seperti kenangannya Krismariana di pasar tradisional. Ntah apakah karena masih pagi, masih bersih dan terang. Memang aku merasa karena lantai dan dindingnya putih keramik jadi terasa terang, selain tentu lampu neon yang benderang ya. Juga pakai AC loh. Tapi yang pasti aku berhati-hati sekali melangkah karena aku pakai sandal jepit yang licin jika lantainya basah.

Los Ikan…. Mbak Annanya cantik sih jadi digodain… Ayo tahu nama ikan-ikan ini ngga? 😀 (Aku udah lupa, mustinya dicatat tuh waktu itu)

Pertama kami pergi ke los ikan. Sebagai keluarga Makassar, kami memang harus selalu punya persediaan ikan laut di dalam lemari es. Si Anna mau membeli udang untuk anak-anak, jadi aku temani. Mungkin karena Anna masih muda dan cantik, pedagang ikan yang bapak-bapak itu menggoda dia terus. Sehingga aku merasa perlu bercakap-cakap dengan si bapak-bapak itu. Lagipula aku ingin memotret! Sebetulnya aku ragu apakah bisa memotret atau tidak. Nyaliku kadang memang tidak besar untuk urusan ini sehingga sulit untuk menjadi fotografer. Pikirku fotografer itu harus berani untuk memperlihatkan kameranya, sedangkan aku tidak. Seringnya memotret sembunyi-sembunyi, karena (di Jepang) aku takut tidak boleh atau orang lain merasa aneh melihat aku memotret. Dan satu lagi, aku berpikir, mereka akan memberi harga yang mahal jika melihat aku membawa kamera. Dulu aku ingat sekali, mama selalu wanti-wanti untuk tidak memakai kalung atau gelang, atau baju bagus ke pasar. Selain takut dijambret, juga pedagang akan memberikan harga mahal 😀

Jadi aku takut-takut mengeluarkan kameraku, dan bertanya pada si bapak, aku boleh memotret atau tidak, karena terbiasa di Jepang. Dasar orang Indonesia, senang saja dipotret.  Bahkan mereka berpose! Oiiii aku justru tidak mau kalian berpose, maunya yang wajar-wajar saja. Dan aku menggunakan kesempatan untuk tanya nama-nama ikan yang aku tidak tahu deh 😀

Ibu-ibu tangguh penjual ayam… dan gantungan baju deh buntut, lidah dan jeroan… pemandangan yang pasti tidak terlihat di pasar Jepang!

Karena sudah kepalang mengeluarkan kamera, akhirnya aku pegang terus kameranya sambil belanja. Berasa jadi wartawan deh! hehehe. Dan ternyata semua yang berpapasan juga tidak sampai memandangku sebagai artis  orgil 😀 Kami kemudian pergi ke los ayam. Yang aku heran di situ kenapa harganya bisa sama semua ya? Sekilonya kalau aku tidak salah ingat 22 ribu. Dan semua bertampang memelas berkata, “Beli (ayam) punya saya dong bu…” Duh itu yang aku ngga bisa tuh, rasanya ingin beli satu-satu dari semua pedagang, yang lucunya semua ibu-ibu. (Bagian ikan semua laki-laki, bagian ayam semua perempuan :D) . Akhirnya aku bilang pada Anna, beli satu di ibu itu, dan satu di ibu ono 😀 Yang aku perhatikan juga, si Anna ngga pernah nawar! Waaaah kalau ibuku masih hidup, bisa diomelin tuh 😀 Bagi ibuku, kalau ke pasar wajib nawar … makanya aku ngga cocok deh belanja sama mama. Ngga tega!

Dari ayam, kami pindah cari buntut. Ihhhh seram juga melihat buntut sapi digantung begitu ya? Yang pasti tidak ada pemandangan seperti ini di Jepang, jadi kudu dipotret :D. Cari buntut di Jepang memang agak susah, karena tidak setiap tukang daging menjualnya. Kalaupun ada, buntut sapi Jepang itu muahal rek. Satu biji yang agak besar seharga 1000 yen. Beratnya kira-kira 200 gram deh. Karena itu mending beli buntut halal yang sudah dibekukan. Satu kgnya 1200 yen. Beda sekali kan harganya? Tapi buntut ternyata juga mahal ya di Indonesia…. kalau tidak salah sekitar 80-90 ribu tuh. Demikian juga dengan daging. Padahal dengan harga yang sama, kami bisa juga membeli 1 kg daging di Tokyo. Itu kan berarti daging memang mahal di Indonesia karena harganya bisa sama begitu. (Dan sekarang kasus bawang putih mahal hehehe)

sayurnya bagus-bagus, menurutku lebih bagus dari di supermarket loh. Masih segar lagi. Dan… terus terang sudah lupa nama beberapa sayur yang kufoto 😀

Dari situ kami pergi ke los sayur… Duh senang melihat los sayur itu karena sayurnya bagus-bagus! Aku juga baru lihat daun genjer di situ.Tapi karena takut terbuang, aku tidak beli daun-daun yang belum pernah kami coba itu. Maklum aku kan tukang jalan, nanti mubazir.Di los sayur aku juga belanja di dua kios, dan salah satu kiosnya dijaga oleh sepasang suami-istri. Senang deh lihat mereka berdua, akrab dan sigap melayani pembeli, yang cuma aku saja. Cuma aku tidak jadi membeli kacang tanah padanya, karena kecil-kecil dan dijualnya ketengan dalam plastik-plastik kecil. Aku lebih suka beli kiloan untuk kacang tanah.

Akhirnya aku putuskan untuk pulang, setelah berada di situ 40 menit…. karena uang sudah habis 😀 dan yang pasti tentengan semakin banyak dan berat. Memang sih banyak pemuda porter yang menawarkan membawakan barangnya, cuma aku tidak terbiasa memakai porter dan tidak tahu berapa ongkosnya juga. Akhirnya kamipun pulang dan tidak mampir lagi ke Ahin deh ….

Aku senang sekali sudah bisa berkunjung kembali ke pasar Mayestik yang dulu sering kukunjungi ini. Seperti berwisata saja!  Memang tidak sama, dan untung tidak sama (kalau tidak pasti baunya itu loh)… Aku tahu bahwa manusia harus memperbarui diri terus jika mau maju, dan pasar tradisional di Mayestik ini sudah memperbarui dirinya. Semoga saja bisa tetap terjaga kebersihannya.

So, kapan terakhir kamu ke Pasar Tradisional? 😀 Nanti kalau aku mudik lagi, aku mau ajak Gen dan Riku ke pasar! 😀

Last day in HK

Tanggal 26 Juli pukul 4 sore aku harus naik Cathay Pasific kembali, untuk memulai acara mudikku di Jakarta tahun ini. Tiga hari transit di Hongkongpun harus kuakhiri.

Nah sambil packing koper, Riku dan Ao bermain di taman apartemen. Setelah selesai, aku dan Kai menelepon Kimiyo, dan kami bersama-sama naik “Angkot”nya Hongkong yang berhenti persis di depan gerbang apartemen. Hmmm aku cukup heran dengan kondisi seperti ini. Karena aku tahu pasti tidak akan ada orang yang tinggal di apartemen mewah Dharmawangsa misalnya, yang akan berjalan kaki ke luar kompleks dan naik angkot! Setiap orang yang tinggal di apartemen mewah pasti mempunyai mobil, dan kalaupun akan pergi dengan angkutan umum, mereka akan naik taxi SB atau BB yang dipanggil dan sudah menunggu calon penumpang di depan gerbang apartemen. MANJA! dan …. snobbish!

Mental seperti itulah yang membuat kemacetan Jakarta tidak bisa dikurangi. Semua mau naik mobil pribadi. Dengan alasan kurang aman. Memang, itu juga fakta. Jadilah lingkaran setan yang tidak akan bisa diuraikan. Akupun kalau ada mobil pribadi, pasti lebih pilih naik mobil pribadi (kalau ada supirnya ya, soalnya aku tidak punya SIM Indonesia, jadi pasti kemana-mana naik taxi). Tapi jika angkutan umum lainnya aman seperti di Jepang atau Hongkong, pasti aku akan naik angkutan umum.

Keramaian di pasar sayur

Dengan angkot itu kami menuju pasar tradisional Hongkong. Meskipun dibarengi perasaan waswas karena waktu bergulir terus a.k.a takut terlambat ke bandara, kami terus berjalan sepanjang kios-kios pasar. Yah…. sebetulnya bukan pemandangan yang asing sih. Mirip kita pergi ke pasar baru aja. CUMA…bersih! Tidak ada tuh yang namanya bau menyengat ongokan sampah dan genangan lumpur. Padahal panasnya sama! Lebih panas malahan (karena lembab). Jadi ok-ok aja tuh berjalan di sepanjang pasar itu. Seandainya wkatu masih banyak dan Kai tidak rewel minta digendong terus…. (Aku bisa gendong dia tapi resikonya aku sulit angkat koper nanti di bandara kalau punggungku kaku)

Kai udah mau ambil parianya dan langsung dimakan, dipikirnya ketimun kali ya?

Akhirnya kami mampir ke Mac Donald terdekat. Memang Gen menyarankan Riku untuk pergi ke suatu tempat tertentu jika pergi ke Luar Negeri. Misalnya Mac Donald seluruh dunia. Mulai sekarang sampai nanti dia besar bisa membandingkan semua Mac Donald di seluruh dunia. Dulu keluargaku juga begitu, pasti membeli Hard Rock Cafe Shirt di setiap kota yang dikunjungi. Kalau bisa sendiri, kalau tidak bisa jika papa yang pergi pasti akan diusahakan membelinya. Hard Rock Cafe dan Planet Hollywood. Tapi sekarang jamannya sudah berubah, at least untuk keluargaku. Sudah malas memakai T-Shirt juga sih. Tapi Riku mungkin kelak bisa pamer karena masih ada setumpuk T Shirt HRC berbagai kota di dalam lemari kami.

Rasanya Mac Donald sebetulnya di mana-mana standar saja. Tapi aku rasa burger ayamnya lebih gurih daripada di Jepang. Huh ayam Jepang memang tidak ada rasa, terlalu banyak bekerja atau…obat mungkin yah hihihi.

Yang juga mengherankan aku adalah sebuah kejadian di meja sebelah kami. Ada satu keluarga kecil, bapak, ibu, anak dan omanya yang duduk, tapi tidak membeli satupun produk McD. Mereka mengeluarkan kotak styrofoam dari toko lain, sepertinya isinya bakmi, dan mereka makan. Dan benar saja, pelayan Mc D mendatangi mereka dan mungkin menegur mereka (pakai bahasa sono sih), sehingga si Bapak akhirnya membeli minuman di counter. Hmmmm cueks banget ya? Perlu aku tekankan di sini: Jangan berbuat seperti itu di Jepang! Memang jarang sekali ada kejadian seperti itu. Yang jelas orang Jepang PASTI tidak akan melakukan hal itu. Etiket perdagangan lah…. Pelanggaran memang biasanya dilakukan oleh orang asing yang tidak mengetahui tata cara/etiket atau…pura-pura tidak tahu atau cuek. (Bahkan di beberapa restoran di Indonesia sekarang mencharge kue tart yang kamu bawa dari toko lain misalnya)

Setelah selesai makan, anak-anak minta naik double decker lagi, padahal untuk balik ke apartemen tidak ada double decker. Aku sudha mulai jengkel karena seharusnya kita sudah pulang dan ambil koper. Untuk memenuhi permintaan anak-anak akhirnya kamu naik tram bertingkat, sebelum akhirnya naik angkot lagi. Dengan demikian semua jenis transportasi sudah dicoba.

Nah ada dua kejadian di dalam angkot pulang itu. Satu sebuah kecelakaan kecil yaitu jatuhnya calon penumpang karena si supir tidak lihat. Si cewe ini juga salah sih,maksa naik angkot yang setengah berjalan. Sepertinya dia ragu-ragu mau naik atau tidak. Rame-rame sedikit, aku semakin manyun…the time is tickling! Tapi hebatnya ngga ada acara gontok-gontokan atau sampai panggil polisi segala. Si supir sih kelihatannya suruh si cewe naik tidak usah bayar, tapi si cewe tetap bayar. Aku dan Kimiyo cuma pandang-pandangan, kalau kejadian seperti ini di Indonesia, supir angkotnya udah mati kali ya dipukulin. Negara yang katanya beragama tapi seringnya main hakim sendiri…. miris

Kejadian kedua adalah aku memberikan tempat duduk Kai untuk seorang ibu yang naik tapi tidak ada tempat duduk. Si ibu tiba-tiba mengeluarkan mainan satu kotak setip yang masih ada harganya. Aku sempat baca harganya 12$ dan dia berikan pada Kai. Duuuh segitunya bu… ngga usah. Aku sampai bungkuk-bungkuk say thank you pada ibu itu. 12$ cukup untuk naik angkot ke mana tuh…. Baru mengalami dua kejadian di satu hari, apalagi kalau aku tinggal lamaan ya?

Begitu sampai apartemen, kami ambil koper dan langsung naik taxi ke Bandara. Lebih lambat 30 menit dari jadwal. Sambil berdoa kenceng aku menutup mata saja, daripada senewen. Akhirnya sampailah di bandara, aku cepat-cepat ambil 2 koper lain yang dititipkan kemudian cek in. Nah waktu cek in inilah terjadi masalah besar. Kai menangis meraung-raung. Dia lapar mungkin, tapi dia berteriak-teriak tidak mau naik pesawat. Saking ngamuknya dia angkat koper kecil dari ban pengukur di tempat cek in supaya tidak diikutkan ke pesawat. Aku yang sudah senewen jadi biarkan saja dia menangis. Satu airport Hongkong melihat aku mungkin sebagai ibu yang kejam…but I have no time.

Akhirnya tangisnya bisa reda setelah dibujuk pakai coklat. Cepat-cepat berpisah dengan Kimiyo dan Ao, kami memasuki imigrasi, yang cukup makan wkatu karena namaku di paspor terlalu panjang. Dia cek satu-satu hurufnya! HUH. Jadi lari-lari deh ke boarding gate, dan kami sampai tepat boarding gate dibuka. Duduk di tempat duduk, kai langsung tidur kecapekan, dan Riku… menangis terus. Dia sedih meninggalkan Ao. Hmmm perasaan Riku memang peka sekali (mirip mamanya) sampai dia bilang, kita harus ke Hongkong lagi bulan Desember nanti, dan panggil Ao untuk ke Tokyo dan menginap di rumah kami. OK sayang, as you wish!

Kedua krucils yang kecapekan

Sesampai di bandara cengkareng, kami membutuhkan waktu hampir 2 jam untuk menyelesaikan visa on arrival bagi Riku dan Kai (duuuh antriannya), tapi antrian di VoA ini masih mending. Antrian di Imigrasinya amit-amit deh! (pengen deh motret tapi ngga pernah boleh memotret di Imigrasi negara manapun) Itu bule-bule udah pada  sengak mukanya. Sampai Riku dan Kai menunggu di tangga sambil bermain, sementara aku ngantri di bagian orang asing. Bagian orang Indonesia sih kosong banget. Aku tidak tahu apa yang membutuhkan waktu begitu lama. Apakah pengambilan sidik jadi dan foto mata? Tapi Riku dan Kai akhirnya dipanggil petugas untuk masuk ke bagian orang Indonesia. Waktu aku ucapkan terima kasih ke petugasnya, dia bilang, “Iya ibu kan bawa anak, kasihan disuruh tunggu begitu lama”. Memang bersama aku juga satu keluarga dari Hongkong disuruh lewat imigrasi bagian orang Indonesia. Tentu saja kami ditatapi pandangan sebal orang-orang lain yang masih mengantri saat itu.

aku selalu pikir kenapa kids meal di penerbangan lebih yummy drpd yang untuk dewasa ya?

Well, imigrasi di Hongkong apalagi di Jepang tidak pernah selama ini sih. Bayangin aku baru bisa keluar gate setelah 2 jam landing! Gila bener. Musti ada perbaikan dong, supaya wisatawan mau datang ke Indonesia.

Untung kami langsung bertemu Chris, iparku yang datang menjemput, sehingga bisa langsung pulang ke rumah tercinta, dan memulai acara mudik kami. Dear home, I am back!