Pecicilan

Hayooo pecicilan itu kata dasarnya apa? cicil? Tapi waktu aku cari di KBBI daring (yang sekarang sedang down) hanya dapat 2 arti : 1. mencicil seperti kredit dan 2. mata membelalak. Padahal yang aku maksud dengan pecicilan bukan mata membelalak, tapi yang artinya “tidak bisa diam”. Jadi pasti bahasa Jawa tuh. Langsung aku konfirmasikan ke Krismariana, dan memang untuk mengatakan  “tidak bisa diam” bisa dipakai kata “pecicilan”.

Tentu saja tahu dong siapa yang pecicilan kan? Ya si Koala, alias Kai, anak keduaku. Hari Selasa, 1 November itu aku janji bertemu dengan Ade Susanti dan suaminya jam 11 di Stasiun Tokyo. Mereka dari Nagoya naik shinkansen. Tadinya kupikir aku bisa pergi sendiri dan menemani mereka sampai jam 4-an karena aku akan memperpanjang jam belajar di TK nya sampai jam 5. Eh, ternyata aku salah lihat daftar rencana belajar, rupanya tanggal 1 November itu TK nya Kai libur karena ada penerimaan murid baru untuk tahun ajaran (April)  2012-2013. Ya sudah, terpaksa dong aku bawa Kai.  Dan untung sekali kami bisa berkomunikasi lewat sms sehingga bisa bertemu di Stasiun Tokyo yang begitu luas.

Imperial Palace dari luar, kiri bawah Nijubashi

Karena kami mau menaruh koper dulu ke hotel di Asakusa, maka aku pikir lebih baik naik taxi. Lumayan kalau bawa koper naik turun subway yang termasuk lama (sejarahnya) karena biasanya tidak ada eskalatornya. Sesudah naik taxi, aku tanya soal Imperial Palace yang bisa dikunjungi umum itu yang mana. Eh pak supir baik, dia bilang, itu sudah keliatan kok, apa mau dilewati. Wah asyik juga, jadi aku minta pak supir melewati pintu Gerbang utama Palace, dan jembatan Nijubashi. Aryo, suami Ade ingin sekali memotret Nijubashi. Tapi kami cukup kecewa waktu melihat Nijubashi itu tidak sebesar perkiraan kami waktu melihat foto-foto pariwisata. Kecil deh hehehe. Yah, cukuplah aku mengambil foto dari dalam taxi saja. Nanti kalau ada waktu bisa kembali lagi.

Becak tradisional, Gedung Asahi, Sky Tree

Dari depan taman istana, kami menyusuri jalan melalui Akihabara, Ueno, Asakusa, dan kami turun persis di stasiun Asakusa. Ternyata hotel yang dipesan dekat sekali dengan hotel. Aku cukup senang dengan pelayanan hotel bisnis yang cukup ramah dan pintar berbahasa Inggris. (Tapi ngga tau sih bagaimana kalau menginap, nanti musti tanya pada Ade). Karena belum waktu cek in (waktu itu menjelang  pukul 1:00 padahal waktu cek in pukul 3 sore) koper ditinggal dan bisa langsung dimasukkan ke kamar begitu kamarnya selesai. Dan kami keluar lagi untuk cari makan siang. Nah aku menanyakan pada Ade, maunya makan Segala Tahu atau Shabu-shabu. Dan pilihan ke Shabu-shabu.

Kiri atas: Latar Mitsukoshi Ginza, kiri bawah tahu dengan asparagus

Jadi kami menuju Ginza yang terkenal sebagai Daerah Shopping (Kalau di New York ya Fifth Avenue deh). Kami menuju stasiun yang letaknya dekat sekali dengan hotel, dan jalurnya adalah Ginza Line! Jadi kami bisa langsung ke Ginza tanpa harus ganti-ganti kereta lagi. Dengan waswas aku masuki stasiun subway. Aku jelaskan pada Ade bahwa aku tidak bisa naik subway karena pernah panic syndrome, jadi harus ajak aku bicara terus, supaya aku tidak panik. Untunglah Ginza Line itu tidak terlalu dalam di bawah tanah(karena Ginza line adalah subway nomor 2 yang dibangun di Tokyo, Nomor satunya Marunouchi line), jadi aku bisa tahan melampaui 10 stasiun sebelum sampai ke Ginza. Senang juga bisa naik subway lagi. Tapi aku tidak yakin aku bisa naik sendiri. Sedapat mungkin aku cari kereta di atas tanah, bus, atau taxi hehehe.

Begitu sampai di Ginza, kami menuju Ginza Core Building lantai 2, tempat “Shabusen”, restoran shabu-shabu yang enak dan reasonable  di Tokyo. Aku sekaligus bernostalgia di restoran ini, karena dulu waktu single lumayan sering aku makan di sini, baik dengan papa mama jika datang ke Tokyo, atau teman-teman papa, atau teman-teman gereja. Aku ingat sekali ada satu teman gerejaku yang laki-laki bernama S yang bisa tambah nasi sampai 5 kali (disini bisa tambah nasi atau bubur sebebasnya jika kita pesan shabu-shabu daging). Dan ada satu appetizer (makanan pembuka) yang selalu aku pesan di sini yaitu asparadofu (Tahu sutra dengan asparagus) it melted in your mouth!

 

Shabu-shabu di Shabusen, Ginza

(Eh omong-omong soal tambah nasi, aku sampai tambah dua kali loh, soalnya Kai makan bersamaku, dan dia bisa makan 1 mangkok nasi ukuran orang dewasa! aku sampai heran sekali…..)

 

Torii sebelum menuju Kuil utama Meiji Shrine, Kai dan Ade bergaya ultraman.

Dari Ginza kami langsung menuju ke Meiji Jingu (Meiji Shrine) di daerah Harajuku. Begitu naik lewat pintu keluar no 2, kami langsung menemui sebuah jembatan yang mengarah ke Shrine yang ditandai dengan terlihatnya sebuah Torii (Pintu gerbang kayu) besar nan kuno. Mulai di situ kami harus berjalan jauuuh melalui jalan berkerikil yang diapit pepohonan rimbun. Tidak terasa bahwa kami ini berada di dalam kota Tokyo dengan lebatnya “hutan” ini. Memang merupakan ciri khas bahwa kuil Jepang pasti berada di dalam “hutan” karena menunjukkan keharmonisan dengan alam. Cukup jauh kami berjalan, sampai  kami menemui pameran Kiku 菊 atau Bunga krisan/seruni di sepanjang kanan jalan. Memang Kiku dapat dilihat pada musim gugur (Aku jadi teringat melihat sebuah pameran boneka dari seruni di Nihonmatsu sekitar bulan ini puluhan tahun lalu). Bunga kiku atau seruni merupakan lambang kekaisaran Jepang yang dipakai dalam simbol-simbol kenegaraan.

Bunga Seruni/Krisan berwarna ungu di Meiji Shrine

Akhirnya kami sampai di bagian utama kuil Shinto ini. Dan kebetulan waktu kami masuk ada iring-iringan pendeta Shinto Kannushi memasuki sebuah ruang , sedangkan dari ruangan yang lain keluar serombongan laki-laki berhakama. Kami ditahan untuk tidak mendekati kannushi oleh beberapa petugas berseragam. Aku tak tahu apakah mereka dari kepolisian (sepertinya sih bukan karena bukan seragam polisi) , mungkin dari protokol kuil. Dan di dengan panggung utama ada semacam panggung di tengah-tengah yang ternyata merupakan tempat pertunjukan musik tradisional Jepang. Jadi deh kami mendengarkan sepotong konser tradisional dan melihat  sebuah iringan pengantin ala shinto.

Iringan Kannushi, dan panggung utama kuil

Akhirnya sekitar pukul 4: 15 kami berjalan pulang menuju stasiun dan berpisah. Riku sudah berkali-kali meneleponku dan menanyakan aku sedang berada di mana. Dia pulang dari sekolah jam 3 siang dan sudah bisa tinggal di rumah sendiri. Tapi karena sekarang jam 5 sudah gelap dia sering takut sendiri. Dari stasiun  Harajuku JR aku ke Shibuya, kemudian naik Inokashira line sampai Kichijouji. Aku sengaja ambil rute ini, karena aku takut Kai tertidur di tengah jalan. Sesedikit mungkin berdiri dan kalau perlu aku bisa naik taxi dari Kichijouji untuk pulang ke rumah. Jika Kai tertidur. Soalnya Kai jalan kaki terus bersama kami, sejak awal dan tidak satu kalipun minta gendong. Bahkan dia sering berlari-lari muter-muter, seakan-akan energinya tidak habis-habis…. aku serem kalau dia teler di perjalanan pulang, dan aku harus menggendong dia… oh nooooo….

Tapi ternyata Kai memang sambil berkata, “Mama aku capek” tapi tetap berjalan terus, tidak tertidur, dan masih mau aku ajak berkeliling food court Atre di Kichijoji untuk membeli makanan jadi. Aku sih sudah teler untuk masak lagi, dan pasti Riku sudah lapar dan menagih makanan begitu aku pulang. Kami akhirnya sampai di rumah pukul 6:30 dan disambut Riku, “Mama aku lapaaaar” hehehe.

Well satu hari yang melelahkan tapi mengasyikkan. Sudah lama aku tidak jalan-jalan di dalam kota Tokyo, dan dengan kedatangan Ade, aku bisa bernostalgia, dan juga bisa naik subway! Tapi ya itu 30% capeknya aku ya karena Kai pecicilan terus, sehingga memerlukan kewaspadaan extra waktu kami berada di pinggir jalan besar, atau di peron stasiun. Tentu saja aku tidak mau anakku celaka kan?

 

Stasiun Harajuku JR

20 comments on “Pecicilan

  1. pecicilan? seperti Egi dong klo di sini hehehe … ga bisa diem hehehe …
    eh aku juga ding sering pecicilan, lupa diri klo udah emak2 hahaha
    seneng ya mba ada kesempatan jalan2

    *sambil menerawang kapan bisa dijemput sama mba Imelda di Narita* 😀

  2. aduh jadi pengen makan shabu2… hahaha

    ah pengen banget dah ke tokyo… someday dah someday… 😀
    dari dulu lho saya selalu pengen bisa ke jepang.

  3. Mba Imel udah posting banyak, dan akupun belum memulai #tepokjidat

    Asparatofu enak bangeeeet.. masih kebayang rasanya ni mba.. hihihi
    Yups.. It melted in your mouth #ngences #lapiler

    • salam kenal mb…selamat ya…ber happy anniversary di Jepang dan bertemu mb Imelda disana…sukses dan bahagia selalu…ditnggu cerita dan foto-foto bulan madunya….ups salah…foto-foto jalan-jalan di Jepang nya yaa… 🙂

  4. Kai pecicilan berarti pintar dan aktif ya.. hihii… ^_^
    aaah foto bunganya Mbak Imelda keren bangeeet deh… jadi mauuu…

    aku baru tau mbak Imelda pernah panic attack d subway… itu semacam claustrophobia bukan sih mbak? mirip atau emang itu?

    dan aku baru tau fifth avenue nya Tokyo itu Ginza, mesti inget2 klo suatu hari ke Jepang nih… *halah, MIMPI!* hehehe… :-{

  5. Pecicilan itu sodaranya petakilan …sepupunya pencilatan … Hahahaha

    Bahasa medannya mungkin lasak …

    Again this is the beauty of blogging …

    Salam saya EM

  6. pecicilan ya bahasa Jawa lah Mel….masak sih Kai pecicilan ? karena kalau pecicilan itu agak2 nakal gimanaaa gitu…kalau aku bilang sih Kai itu ga bisa diam, aktif dan selalu mau tahu…bagus lho anak seperti dia itu, dia juga gampang bergaul sm siapa aja, coba lihat…jarang lho ada anak yang mau bergaul sama bapak2, ibu2, oom2 dan tante2 yang para blogger ini, kadang tulisannya beda sama penampilannya…hahahaha….cuma becanda ya para bloggers…

    kalau aku mungkin ya ga nahan kalau mesti gendong macam koala gitu, secara punggung ku pernah terjepit, jadi mungkin itu agak melelahkan kalau mesti menggendong anak seumur Kai

    salam sayang selalu buat Riku and Kai dan mamanya juga 🙂

  7. Anak seusia Kai dan Icha anakku emang pecicilan Mbak Imel, tapi pecicilan yang menggemaskan…he…he..photo-photo Mbak Imel di Meiji Jingu ini mengingatkan aku lima belas tahun yang lalu disana. Pohon-pohon disana besar-besar dan tinggi-tinggi, menuju ke Shrine ini musti jalan jauuuuuuuh banget, katanya pohon-pohon disini bibitnya diambil dari seantero Jepang . Adem dan tenang gitu disini berasa jepang masa lampau ngga jauh dari Harajuku yg kerasa banget Jepang moderennya. Salam kenal sama Ade ya Mbak.

  8. kaaaiiii… jadi pengen main sama kai, deh mbak em. tapi kebayang capeknya deh jalan2 sama anak seumur kai. pasti nggak bisa diem. pengen ini dan itu. trus lari2an. memang yg momong harus ekstra perhatian.

    duuuuuhhhh siap energi yang banyak deh
    EM

  9. Shabu-shabu selalu menyegarkan ya Imel…di Jakarta sudah banyak restoran Jepang yang menyajikan shabu-shabu.

    Pecicilan? Itu khas ungkapan Jawa, untuk anak atau orang yang tak bisa diam….tapi pecicilan untuk anak kecil menunjukkan anaknya energik.
    Senangnya ketemu teman, bernostalgia….dan pulang ke rumah tinggal capeknya…tapi teteup…seneng.

Tinggalkan Balasan ke Tiara Putri Batalkan balasan